Cari Blog Ini

Senin, 10 Juni 2013

Bekerja Sebagai Investasi di Surga


Bekerja Sebagai Investasi di Surga
Oleh: Nur Jannah [santriwati PP. Darul Falah 4]



} وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ } اطلب فيما أعطاك الله من الأموال والنعمة والجنة وهو أن تقوم بشكر الله فيما أنعم عليك وتنفقه في رضا الله تعالى، { وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا } قال مجاهد، وابن زيد: لا تترك أن تعمل في الدنيا للآخرة حتى تنجو من العذاب، لأن حقيقة نصيب الإنسان من الدنيا أن يعمل للآخرة. وقال السدي: بالصدقة وصلة الرحم. وقال علي: لا تنس صحتك وقوتك وشبابك وغناك أن تطلب بها الآخرة
 تفسير البغوي - (ج 6 / ص 221)

Haqqul yaqin, setiap umat Islam mengidamkan ‘kampung halaman’  yang bernama “Jannah”(surga), kampung terindah tempat orang-orang yang sukses ukhrowi. Pun, tak bisa kita pungkiri, selain sukses ukhrowi, kita juga mengidam sukses di kampung duniawi. Pertanyaannya, bagaimana kita dapat menghirup angin surgawi tanpa mengabaikan duniawi?
Jawaban pertama adalah bekerja. Benarkah, dengan bekerja seorang bisa menjemput Surga? Bukankah jalan ke surga adalah ibadah; sholat, puasa, zakat, haji dan pernik-perniknya--Seperti kita amini selama ini?

Karena Bekerja Adalah Fitrah
Justeru karena bekerja adalah ibadah, sehingga ia juga merupakan proses pendakian surga. Agar jelas,  baiknya kita simak kisah tentang keutamaan orang yang mau bekerja dengan sungguh-sungguh, lalu mari kita renungi kisah ini sebagai pembelajaran agar tidak salah kaprah dalam memahami hakikat bekerja.
Sebuah riwayat menceritakan, di tengah-tengah kesibukan Rasulullah yang baru pulang dari medan perang, beliau melihat tangan Sa’ad yang melepuh. Kulit badannya tampak gosong kehitam-hitaman karena sengatan matahari.
“Kenapa tanganmu hai Sa’ad ”, tanya Rasulullah.
“Tanganku melepuh karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku,” jawab Sa’ad.
Seketika itu Rasullah mengambil tangan Sa’ad lalu menciumnya seraya berkata “Inilah tangan yang tidak pernah disentuh api neraka”. Dalam riwayat lain, setelah mencium tangan pekerja, beliau bersabda, “Hadzihi yaddun yuhibuhallahu wa Rasuuluhu, inilah tangan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. At-Thabrani)
Sabda tersebut menguatkan agrumen bahwa tindakan di dunia  memiliki kaitannya dengan kebahagiaan akhirat. Lalu mengapa Allah menciptakan manusia di dunia  jika manusia tidak memanfaatkan dengan sebaik-baiknya?
Sebelum memutuskan sukses bekerja untuk mendulang investasi akhirat, penting lebih dahulu kita amini bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah kita kepada Allah. Bekerja dapat menjadi perantara atau jembatan menuju kebahagiaan yang hakiki. Jelas  kisah diatas menerangkan bahwa Rasulullah  sangat menghormati seorang yang bekerja dengan giat.
Sukses dunia akhirat dengan bekerja adalah fitrah bagi setiap muslim. Namun, sayangnya ada saja orang yang lebih memilih mengosongkan diri dari kehidupan dunia. Kita tengok di beberapa bilik pesantren, dengan putaran tasbih dan serapah wiridnya, mereka mendedikasikan diri untuk menjadi kosong dari kerlip dunia. Sebagian memahami bahwa semua yang di bumi pasti akan dicukupi Allah, sebagian yang lain menjadikan wirid dan tasbihnya sebagai “pekerjaan” untuk rizki yang mereka pasrahkan sepenuhnya pada Allah, dan sebagian yang lain ada saja yang beranggapan bahwa apa yang di dunia hanya diperuntukkan untuk orang kafir, dan menganggap dunia hanya sebagai penghalang menuju kebahagiaan ukhrawi. Sungguh aneh. Seharusnya cara pandang yang jumud itu sudah jauh hari kita singkirkan.
Berinvestasi di Surga
Harus kita sadari, selama ini paradigma pemikiran kita terlanjur menjadi salah-kaprah menilai hakikat dunia. Mungkin kita pernah beranggapan dunia adalah “tameng” untuk menuju kebahagiaan yang hakiki di surga kelak. Mulai sekarang sadarlah, dunia bukan untuk dihindari dan ditakuti. Dunia dan akhirat bukanlah hal yang bertolak belakang dan mereka berdua sekalipun tidak pernah bermusuhan, bahkan keduanya merupakan satu rangkaian yang saling melengkapi, selayak pasangan suami isteri. Tidak mungkin seorang yang ingin menuju tempat yang diimpikan (surga) di mana tempat itu terbentang jembatan yang menghubungkannya, tanpa ia melewati jembatan tersebut. Nah untuk tinggal di sana kita harus mempersiapkan sebelumnya. Bagaimana caranya?   
Come on men, bangkit dari keterpurukan yang melanda pikiran kita, rangkul duniawi dan dapatkan kebahagiaan ukhrawi.
Hanya untuk mengingatkan,  pasti sudah mengenal sejarah dari seorang Rasul yang bahkan setiap hari kita selalu bersholawat kepadanya, siapa lagi jika bukan Rasulullah SAW. Sebelum  “menjabat” sebagai  seorang Rasul akhir zaman, beliau adalah seorang entrepreneur sejati. Bayangkan, sejak kecil, sepeninggal orang tuanya, beliau bekerja keras demi kelangsungan hidupnya mulai dari sebagai pengembala kambing, menjadi buruh, hingga mendewasa sebagai saudagar yang sukses. Demikian halnya dengan Abu Bakar As-shiddiq dan Utsman  yang memiliki harta melimpah untuk memperjuangkan Islam. Tak hanya itu, seorang ulama fiqih  yang kita kenal namanya sebagai Abu Hanifah, semasa hidupnya pernah menjadi seorang pengusaha besar yang luar biasa. Rekam profil sosok yang mendunia ini memberi kita teladan yang sahih, bagaimana semangatnya mencari harta sebagai investasi akhirat.

Pasti kita hafal di luar kepada, sepenggal hadits;
اِحْرِزْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيشُ أَبَدًا وَاعْمَلْ لآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوتُ غَدًا
 Beribadahlah kamu seakan kamu akan mati besok dan bekerjalah kamu seakan hidup selamanya” (HR. Al Harits).
Imam Al Baghowi dalam tafsirnya mendedah kandungan surat Al Qoshos: 77;
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ } اطلب فيما أعطاك الله من الأموال والنعمة والجنة وهو أن تقوم بشكر الله فيما أنعم عليك وتنفقه في رضا الله تعالى، { وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا } قال مجاهد، وابن زيد: لا تترك أن تعمل في الدنيا للآخرة حتى تنجو من العذاب، لأن حقيقة نصيب الإنسان من الدنيا أن يعمل للآخرة. وقال السدي: بالصدقة وصلة الرحم. وقال علي: لا تنس صحتك وقوتك وشبابك وغناك أن تطلب بها الآخرة

Kata Al Baghowi, setiap hamba diberi tugas dan peluang untuk mencari apa yang telah Allah beri, baik berupa harta, nikmat Allah dan terutama surga. Caranya adalah mendermakan di jalan Allah atas apa yang kita peroleh dari pemberian Allah.  Imam Mujahid dan Ibnu Ziyad mengatakan tidak patut jika seorang hamba meninggalkan pekerjaan duniawi untuk kepentingan akhirat, karena, fitrah seorang hamba di dunia adalah berbuat sebanyak mungkin untuk kepentingan ukhrowinya. Jadi, bekerja untuk kepentingan ukhrowi, kerja sebagai investasi di surge adalah fitrah.

Malas Itu Dekat Dengan Kufur
Tentu kita tidak rela jika orang-orang kafir dengan adidayanya menguasai sektor duniawi; perekonomian, politik maupun iptek. Memang ada ayat yang menyebut bahwa orang-orang kafir dihiasi dengan gemerlap kehidupan duniawi dan merendahkan kaum muslimin yang miskin زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُونَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا (QS. Al Baqarah: 212 ). Ini bukan berarti kita pasrah dan terdiam menonton mereka menguasai panggung dunia. Justeru di tangan mereka dunia ini carut-marut, karena roda perekonomian dijalankan dengan cara hitam.
Coba kita bayangkan akan kemana lagi para petani dan pengusaha kecil kita yang miskin modal, jika bukan ke bank konvensional yang penuh dengan intrik riba, andai sampai sekarang tidak lahir bank atau lembaga keuangan berjudul “syariah”? Keterpurukan ekonomi Islam cepat atau lambat akan mengantarkan umatnya pada lembah bernama kefasikan, lebih celaka lagi jika lembah itu bernama kekufuran.
Membayangkan jutaan umat Islam yang menelan atau terpaksa menjeratkan diri pada praktik riba, misalnya. Bukankah ini pemandangan yang sakit? Padahal jelas kita mengamini bahwa riba adalah praktik bisnis terkutuk. Al Qur’an menegaskan; “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah: 275). Dan, bukankah kita juga tidak pernah rela jika orang Yahudi menggiring kita  untuk mengikuti millah (ajaran), yang salah satu di antaranya adalah riba(QS Annisa: 161):
 وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ
 Jelas bahwa para musuh Allah, di antaranya adalah Yahudi, ingin menjerumuskan kita pada keterpurukan, salah satunya adalah dengan menindas perekonomian umat Islam dengan praktik ekonomi terkutuk. Inilah langkah pemiskinan umat Islam, yang akan berujung pada pengkafiran umat Islam. Bayangkan, bagaimana jadinya jika umat Islam miskin. Ingat pesan Nabi: وَكَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُونَ كُفْرًا bahwa “kefakiran dekat dengan kekufuran”. Muslim miskin lebih gampang dibeli imannya dibanding muslim kaya.

Bekerja; Menebar Rahmat di Bumi
Tidak ada pilihan. Bekerja dengan giat, baru kemudian  kita mempunyai kemapanan sebagai muslim dan dapat mempraktekkan seruan Allah yang termaktub di banyak ayat agar kita berbagi sesama muslim atas nikmat Allah, agar kita berkesempatan menjadi seperti suatu ketika Rasulullah pernah memberi motivasi yang sangat cantik: “tangan di atas lebih baik dari pada tangan dibawah, tangan di atas adalah tangan pemberi, tangan di bawah adalah tangan peminta.” (HR. Bukhori).
Siapa lagi jika bukan “muslim kaya”, yang diwajibkan untuk berzakat, naik haji, yang dianjurkan menyantuni anak yatim, membantu pembangunan masjid, sehingga kita sesama muslim dapat menuntut ilmu setinggi-tingginya, berhuni di tempat tinggal yang layak, makanan, maupun pakaian untuk menunjang kesempurnaan ibadah kita. Ada senyum indah yang berseri di sana. Ada surga yang gemilang ketika sesama muslim hidup layak dan beribadah dengan tentang, tanpa takut kelaparan, kehujanan, tak pernah resah apa yang akan ia makan esok. Pada situasi inilah, saat kita telah menjadi seperti sabda Rosulullah:
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى الله أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ (الطبرانى فى الأوسط عن ابن عمر)

 Manusia yang paling dicintai oleh manusia adalah orang yang memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada manusia lainnya” (HR. At Thabrani).
 Secara tidak langsung kita telah  berinvestasi untuk membangun singgasana di surga sejak di alam dunia. Dunia adalah surga pertama bagi orang yang beriman dan akhirat adalah surge tertingginya. Subhanallah.
Mari kita amini dan imani, dengan bekerja pintu Jannah semakin terbuka lebar. Maka masihkah anda ingin terus menggebu menjauhi dan mengabaikan dunia dan memutuskan untuk malas bekerja?
***Penulis adalah santriwati Ponpes Darul Falah 4, aktif di Lingkar Studi Mahasiswa (Lisma), sedang merampungkan studi Manajemen Bisnis Syariah di STAIN Kudus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar