Bekerja
Sebagai Investasi di Surga
Oleh: Nur Jannah [santriwati
PP. Darul Falah 4]
} وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ } اطلب فيما أعطاك
الله من الأموال والنعمة والجنة وهو أن تقوم بشكر الله فيما أنعم عليك وتنفقه في رضا
الله تعالى، { وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا } قال مجاهد، وابن زيد: لا تترك
أن تعمل في الدنيا للآخرة حتى تنجو من العذاب، لأن حقيقة نصيب الإنسان من الدنيا أن
يعمل للآخرة. وقال السدي: بالصدقة وصلة الرحم. وقال علي: لا تنس صحتك وقوتك وشبابك
وغناك أن تطلب بها الآخرة
تفسير البغوي
- (ج 6 / ص 221)
Haqqul
yaqin, setiap umat Islam mengidamkan
‘kampung halaman’ yang bernama “Jannah”(surga),
kampung terindah tempat orang-orang yang sukses ukhrowi. Pun, tak bisa
kita pungkiri, selain sukses ukhrowi, kita juga mengidam sukses di
kampung duniawi. Pertanyaannya, bagaimana kita dapat menghirup angin surgawi
tanpa mengabaikan duniawi?
Jawaban pertama adalah
bekerja. Benarkah, dengan bekerja seorang bisa menjemput Surga? Bukankah jalan
ke surga adalah ibadah; sholat, puasa, zakat, haji dan
pernik-perniknya--Seperti kita amini selama ini?
Karena Bekerja Adalah Fitrah
Justeru karena bekerja adalah
ibadah, sehingga ia juga merupakan proses pendakian surga. Agar jelas, baiknya kita simak kisah tentang keutamaan
orang yang mau bekerja dengan sungguh-sungguh, lalu mari kita renungi kisah ini
sebagai pembelajaran agar tidak salah kaprah dalam memahami hakikat bekerja.
Sebuah riwayat menceritakan,
di tengah-tengah kesibukan Rasulullah yang baru pulang dari medan perang,
beliau melihat tangan Sa’ad yang melepuh. Kulit badannya tampak gosong
kehitam-hitaman karena sengatan matahari.
“Kenapa tanganmu hai Sa’ad ”,
tanya Rasulullah.
“Tanganku melepuh karena aku
mengolah tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi
tanggunganku,” jawab Sa’ad.
Seketika itu Rasullah
mengambil tangan Sa’ad lalu menciumnya seraya berkata “Inilah tangan yang tidak
pernah disentuh api neraka”. Dalam riwayat lain, setelah mencium tangan
pekerja, beliau bersabda, “Hadzihi yaddun
yuhibuhallahu wa Rasuuluhu, inilah tangan yang dicintai Allah dan
Rasul-Nya.” (HR. At-Thabrani)
Sabda tersebut menguatkan
agrumen bahwa tindakan di dunia memiliki
kaitannya dengan kebahagiaan akhirat. Lalu mengapa Allah menciptakan manusia di
dunia jika manusia tidak memanfaatkan
dengan sebaik-baiknya?
Sebelum memutuskan sukses
bekerja untuk mendulang investasi akhirat, penting lebih dahulu kita amini
bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah kita kepada Allah. Bekerja dapat
menjadi perantara atau jembatan menuju kebahagiaan yang hakiki. Jelas kisah diatas menerangkan bahwa Rasulullah sangat menghormati seorang yang bekerja
dengan giat.
Sukses dunia akhirat dengan
bekerja adalah fitrah bagi setiap muslim. Namun, sayangnya ada saja orang yang
lebih memilih mengosongkan diri dari kehidupan dunia. Kita tengok di beberapa
bilik pesantren, dengan putaran tasbih dan serapah wiridnya, mereka
mendedikasikan diri untuk menjadi kosong dari kerlip dunia. Sebagian memahami
bahwa semua yang di bumi pasti akan dicukupi Allah, sebagian yang lain
menjadikan wirid dan tasbihnya sebagai “pekerjaan” untuk rizki yang mereka
pasrahkan sepenuhnya pada Allah, dan sebagian yang lain ada saja yang beranggapan
bahwa apa yang di dunia hanya diperuntukkan untuk orang kafir, dan menganggap
dunia hanya sebagai penghalang menuju kebahagiaan ukhrawi. Sungguh aneh. Seharusnya
cara pandang yang jumud itu sudah jauh hari kita singkirkan.
Berinvestasi di Surga
Harus kita sadari, selama ini
paradigma pemikiran kita terlanjur menjadi salah-kaprah menilai hakikat dunia. Mungkin
kita pernah beranggapan dunia adalah “tameng” untuk menuju kebahagiaan yang
hakiki di surga kelak. Mulai sekarang sadarlah, dunia bukan untuk dihindari dan
ditakuti. Dunia dan akhirat bukanlah hal yang bertolak belakang dan mereka
berdua sekalipun tidak pernah bermusuhan, bahkan keduanya merupakan satu
rangkaian yang saling melengkapi, selayak pasangan suami isteri. Tidak mungkin
seorang yang ingin menuju tempat yang diimpikan (surga) di mana tempat itu
terbentang jembatan yang menghubungkannya, tanpa ia melewati jembatan tersebut.
Nah untuk tinggal di sana kita harus mempersiapkan sebelumnya. Bagaimana
caranya?
Come on men, bangkit dari keterpurukan yang melanda
pikiran kita, rangkul duniawi dan dapatkan kebahagiaan ukhrawi.
Hanya untuk mengingatkan, pasti sudah mengenal sejarah dari seorang
Rasul yang bahkan setiap hari kita selalu bersholawat kepadanya, siapa lagi
jika bukan Rasulullah SAW. Sebelum “menjabat”
sebagai seorang Rasul akhir zaman,
beliau adalah seorang entrepreneur sejati. Bayangkan, sejak kecil, sepeninggal
orang tuanya, beliau bekerja keras demi kelangsungan hidupnya mulai dari
sebagai pengembala kambing, menjadi buruh, hingga mendewasa sebagai saudagar
yang sukses. Demikian halnya dengan Abu Bakar As-shiddiq dan Utsman yang memiliki harta melimpah untuk
memperjuangkan Islam. Tak hanya itu, seorang ulama fiqih yang kita kenal namanya sebagai Abu Hanifah, semasa
hidupnya pernah menjadi seorang pengusaha besar yang luar biasa. Rekam profil
sosok yang mendunia ini memberi kita teladan yang sahih, bagaimana semangatnya
mencari harta sebagai investasi akhirat.
Pasti kita hafal di luar
kepada, sepenggal hadits;
اِحْرِزْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيشُ أَبَدًا وَاعْمَلْ لآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوتُ
غَدًا
“Beribadahlah kamu seakan kamu akan mati
besok dan bekerjalah kamu seakan hidup selamanya” (HR. Al Harits).
Imam Al Baghowi dalam
tafsirnya mendedah kandungan surat Al Qoshos: 77;
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ } اطلب فيما أعطاك
الله من الأموال والنعمة والجنة وهو أن تقوم بشكر الله فيما أنعم عليك وتنفقه في رضا
الله تعالى، { وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا } قال مجاهد، وابن زيد: لا تترك
أن تعمل في الدنيا للآخرة حتى تنجو من العذاب، لأن حقيقة نصيب الإنسان من الدنيا أن
يعمل للآخرة. وقال السدي: بالصدقة وصلة الرحم. وقال علي: لا تنس صحتك وقوتك وشبابك
وغناك أن تطلب بها الآخرة
Kata Al Baghowi, setiap hamba
diberi tugas dan peluang untuk mencari apa yang telah Allah beri, baik berupa
harta, nikmat Allah dan terutama surga. Caranya adalah mendermakan di jalan
Allah atas apa yang kita peroleh dari pemberian Allah. Imam Mujahid dan Ibnu Ziyad mengatakan tidak
patut jika seorang hamba meninggalkan pekerjaan duniawi untuk kepentingan
akhirat, karena, fitrah seorang hamba di dunia adalah berbuat sebanyak mungkin
untuk kepentingan ukhrowinya. Jadi, bekerja untuk kepentingan ukhrowi, kerja
sebagai investasi di surge adalah fitrah.
Malas Itu Dekat Dengan Kufur
Tentu kita tidak rela jika
orang-orang kafir dengan adidayanya menguasai sektor duniawi; perekonomian,
politik maupun iptek. Memang ada ayat yang menyebut bahwa orang-orang kafir dihiasi
dengan gemerlap kehidupan duniawi dan merendahkan kaum muslimin yang miskin زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا الْحَيَاةُ
الدُّنْيَا وَيَسْخَرُونَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا (QS. Al Baqarah: 212 ). Ini bukan berarti kita
pasrah dan terdiam menonton mereka menguasai panggung dunia. Justeru di tangan
mereka dunia ini carut-marut, karena roda perekonomian dijalankan dengan cara
hitam.
Coba kita bayangkan akan
kemana lagi para petani dan pengusaha kecil kita yang miskin modal, jika bukan
ke bank konvensional yang penuh dengan intrik riba, andai sampai sekarang tidak
lahir bank atau lembaga keuangan berjudul “syariah”? Keterpurukan ekonomi Islam
cepat atau lambat akan mengantarkan umatnya pada lembah bernama kefasikan,
lebih celaka lagi jika lembah itu bernama kekufuran.
Membayangkan jutaan umat
Islam yang menelan atau terpaksa menjeratkan diri pada praktik riba, misalnya.
Bukankah ini pemandangan yang sakit? Padahal jelas kita mengamini bahwa riba
adalah praktik bisnis terkutuk. Al Qur’an menegaskan; “Dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah: 275). Dan,
bukankah kita juga tidak pernah rela jika orang Yahudi menggiring kita untuk mengikuti millah (ajaran), yang
salah satu di antaranya adalah riba(QS Annisa: 161):
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ
وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ
Jelas bahwa para musuh Allah, di antaranya
adalah Yahudi, ingin menjerumuskan kita pada keterpurukan, salah satunya adalah
dengan menindas perekonomian umat Islam dengan praktik ekonomi terkutuk. Inilah
langkah pemiskinan umat Islam, yang akan berujung pada pengkafiran umat Islam.
Bayangkan, bagaimana jadinya jika umat Islam miskin. Ingat pesan Nabi: وَكَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُونَ كُفْرًا bahwa “kefakiran dekat dengan kekufuran”. Muslim
miskin lebih gampang dibeli imannya dibanding muslim kaya.
Bekerja; Menebar Rahmat di
Bumi
Tidak ada pilihan. Bekerja dengan
giat, baru kemudian kita mempunyai
kemapanan sebagai muslim dan dapat mempraktekkan seruan Allah yang termaktub di
banyak ayat agar kita berbagi sesama muslim atas nikmat Allah, agar kita
berkesempatan menjadi seperti suatu ketika Rasulullah pernah memberi motivasi
yang sangat cantik: “tangan di atas lebih baik dari pada tangan dibawah, tangan
di atas adalah tangan pemberi, tangan di bawah adalah tangan peminta.” (HR.
Bukhori).
Siapa lagi jika bukan “muslim
kaya”, yang diwajibkan untuk berzakat, naik haji, yang dianjurkan menyantuni
anak yatim, membantu pembangunan masjid, sehingga kita sesama muslim dapat
menuntut ilmu setinggi-tingginya, berhuni di tempat tinggal yang layak,
makanan, maupun pakaian untuk menunjang kesempurnaan ibadah kita. Ada senyum
indah yang berseri di sana. Ada surga yang gemilang ketika sesama muslim hidup
layak dan beribadah dengan tentang, tanpa takut kelaparan, kehujanan, tak
pernah resah apa yang akan ia makan esok. Pada situasi inilah, saat kita telah
menjadi seperti sabda Rosulullah:
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى الله أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ (الطبرانى فى الأوسط عن ابن عمر)
“Manusia yang paling dicintai oleh manusia adalah orang
yang memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada manusia lainnya” (HR. At Thabrani).
Secara tidak langsung kita telah berinvestasi untuk membangun singgasana di
surga sejak di alam dunia. Dunia adalah surga pertama bagi
orang yang beriman dan akhirat adalah surge tertingginya.
Subhanallah.
Mari kita amini dan imani, dengan
bekerja pintu Jannah semakin terbuka lebar. Maka masihkah anda ingin terus
menggebu menjauhi dan mengabaikan dunia dan memutuskan untuk malas bekerja?
***Penulis adalah santriwati
Ponpes Darul Falah 4, aktif di Lingkar Studi Mahasiswa (Lisma), sedang
merampungkan studi Manajemen Bisnis Syariah di STAIN Kudus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar