Cari Blog Ini

Minggu, 02 Juni 2013

karya anak bangsa


Pesantren, Mari Menulis!
Pesantren boleh digadang sebagai “agent of social-religius change”. Di pergumulan masyarakat, pesantren memiliki relasi emansipatoris-partisipatoris yang kuat. Tradisi dakwah yang diusung pesantren menjadi momok penting dalam membangun masyarakat.
Terlepas dari prestasi itu, kita harus mengakui dengan sadar, bahwa suksesi keilmuan dan dakwah yang digeluti banyak pesantren sejauh ini masih terkungkung dalam tradisi lisan. Aktifitas ilmiah di pesantren banyak dirayakan dalam kemasan lisan. Sorogan, bandongan, musyawarah, muhafadzoh, semuanya adalah lisan.
Mitos Lisan
Muncul mitos di pergumulan santri, bahwa di tengah masyarakat, mereka tidak hanya dituntut untuk menjadi seorang alim yang menyimpan segudang keilmuan. Ia juga harus menjadi seorang “macan panggung”, yang pandai membuat wicara, mengobral kata-kata.
Kita tilik, selain mengkaji keilmuan berbasis kitab kuning, kegiatan ekstra yang dihidangkan pesantren adalah aktifitas yang berbau lisan. Di pesantren kita bisa menemukan “khitobah”,  ruang bersua para santri untuk belajar menjadi pembicara yang baik, membawakan acara yang baik, memberikan sambutan yang menarik dan menjadi pemberi tausiyah yang memukau.
Jalan yang selama ini menjadi mitos dakwah kaum pesantren adalah tradisi lisan. Dakwah dikemas dalam ragam ceramah, pidato-pidato, pengajian dan selebihnya ritual-seremonial. Dakwah yang dibatasi hanya sampai pada tradisi seremonial, dakwah yang hanya memilih jalan dengan harus menggelar ritus pengajian, dakwah yang harus berhadap-hadapan; ada penceramah dan ada yang menikmati ceramahnya.
Aktifitas dakwah menjadi lamban karena harus menunggu momentum perayaan wicara. Pembelajaran kering dari kreatifitas. Intelektualitas pesantren menjadi bungkam, karena tertinggal peradaban tulisan.
Menulis: Belajar, Beribadah
Sudah waktunya kita memetik cara pandang baru yang mau terbuka; bahwa ruang kreatif santri di pergumulan masyarakat tidak hanya berhenti pada prestasi lisan. Sedikit menengok dunia di luar pesantren, pergumulan bahkan pertarungan wacana meliuk begitu liar melalui tradisi tulis.
Tulisan menyuguhkan wacanan yang lebih kuat dibanding lisan. Ia memiliki yang masif dan tidak sekali pakai. Amsal sederhana, mengapa kita dapat menikmati kedahsyatan kitab Ihya’ Ulumuddin, Al Umm, atau Taqrib? Sebab apa yang terserak di dalamnya disajikan dengan tulisan, tidak dengan pidato-pidato. Kita bayangkan, seandainya Umar tidak mengkodifikasi Al Qur’an, Al Bukhori, Muslim, tidak menulis hadits, hari ini kita tidak akan mengenal fikih, tasawuf, hadits, dan setersunya.  Kita akan menjadi generasi yang hilang.
Sayang, selama ini kita baru mampu mengapresiasi keilmuan pesantren dalam tradisi yang lisan. Khazanah keilmuan pesantren yang kaya itu tidak mampu dieksplorasi secara maksimal dan sulit membumi, karena dipetik dan disampaikan secara lisan. Inilah yang membuat tradisi keilmuan pesantren sering dituduh mengalami stagnasi, jumud.
Agaknya, tradisi kepenulisan di pesantren perlu disemai.  Harus ada gaya belajar baru, yang akan melengkapi sorogan, bandongan, musyawarah, atau muhafadzoh yang bersifat lisan itu. Kita perlu mencoba gaya belajar berbasis kepenulisan. Santri tidak hanya dituntut untuk membawakan pidato-pidato, atau berdebat dalam forum bahtsul masa’il. Santri juga harus mampu membuat apa yang ia hafalkan, yang ia bincangkan di forum musyawarah, menjadi tulisan.
Pertama-tama kita harus sependapat, bahwa menulis adalah bagian dari metode belajar. Dengan menulis, santri akan mengalami proses kreatif-intelektual; mencari informasi, berpikir, menganalisis, dan menuangkannya dalam tulisan. Menulis tidak sekadar menjadi keterampilan, tapi metodologi belajar.
Kedua, kita juga perlu mnegimani bahwa menulis adalah ibadah, jihad, pengabdian masyarakat. Tidak hanya memberikan tausiyah yang menjadi orientasi perjuangan santri. Dengan menulis, santri juga dapat membangun masyarakat, merayakan dakwah. Menulis menjadi sedekah yang abadi. Sekalipun penulisnya telah mati, tulisan itu tetap hidup dan memberi “kehidupan”. Begitu yang ditelateni Gus Dur semasa hayatnya.
Singkat kalimat, pesantren sudah waktunya membangun tradisi kepenulisan, sebagai metodologi belajar sekaligus media dakwah berbasis karya. Contoh sederhana, menerbitkan buku, jurnal, majalah, atau setidak-tidaknya buletin. Ini akan menjadi memperkaya ruang kreatif dakwah pesantren.
Yang diperlukan dalam program kreatif ini tidak muluk-muluk. Sumber daya manusia di pesantren pada umumnya memiliki kualifikasi keilmuan yang mumpuni. Yang menjadi sedikit ganjalan adalah bagaimana mereka dapat menulis. Masalah ini akan selesai dengan ketelatenan memberikan pelatihan kepenulisan, membangun komunitas menulis, diskusi, itu saja.
Membangun tradisi kepenulisan di pesantren bukan mustahil. Kita hanya butuh sedikit keberanian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar