Dalail
Khairat; Minal Asbab Ila Tajrid
إِرَادَتُكَ التَّجْرِيدَ مَعَ
إقَامَةِ اللّهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ
وَإِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ
اللّهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْدِ اِنْحِطَاطٌ عَنِ الهِمَّةِ العَلَيَّةِ
Keinginanmu untuk
berada di maqam tajrid, sementara Allah menempatkanmu di maqam asbab, ini termasuk syahwat yang tersembunyi. Dan
keinginanmu berada maqam asbab, sementara Allah menempatkanmu di maqam
tajrid, berarti turun dari cita-cita yang mulia. (Ibnu Atha’illah)
Asbab-Tajrid: Dua Kelas, Satu
Derajat
Menurut Ibnu
Atha’illah, Allah memberikan maqam (ruang kreatif) yang berbeda
kepada setiap hamba. Pemberian tingkatan ini berkait dengan peran manusia
sebagai makhluk dengan segala hak dan kewajibannya. Berkaitan dengan hak, Allah
memberikan setiap hamba maqam yang berbeda untuk mendapatkan “hak”nya; seperti
rejeki, jodoh, dan segala bentuk nikmat duniawi pemberian Allah. Berkaitan
dengan kewajiban, tugas, Allah pun memberikan setiap hamba maqam yang
berbeda dalam melakoni tugasnya sebagai Abid (penghamba) dan khalifah
(pemakmur bumi).
Lahirlah
istilah asbab dan tajrid untuk mendefinisi dua maqam yang
dalam pengamatan Ibnu Atha’illah, dua maqam ini diberikan kepada dua
insan yang berbeda. Dua maqam yang kelas, jenis dan fasilitasnya
berbeda, namun tingkat, derajat dan tujuannya sama.
Maqam asbab adalah ruang kreatif mereka yang kehidupannya ada di
pergumulan derap dunia. Untuk mendapatkan haknya dari Allah, mereka ada di
pasar untuk berdagang, sebagian lagi mengolah sawah, menjadi karyawan,
pengusaha dan banyak lagi. Mereka adalah
orang-orang yang kelas haknya di maqam asbab. Artinya, untuk mendapatkan
haknya berupa rejeki, mereka ditakdirkan Allah mendapatkannya melalui proses
kreatif bekerja.
Ihwal
kewajiban orang asbab (al mutasabbib), mereka juga diberi porsi
yang luas oleh Allah untuk menghamba melalui aktifitas di maqam asbabnya.
Tentu ibadah yang dimaksud di sini adalah ibadah di luar rukun Islam. Artinya,
kegiatan kreatif mereka di dunia nyata adalah sebentuk ibadah. Sebagaimana
seorang ayah yang mencari nafkah untuk keluarganya, inilah sebentuk ibadah
seorang mutasabbib.
Jadi benar
apa kata Ibnu Ajibah ketika mengomentari konsep asbab tajrid
Ibnu Atha’illah ini, bahwa dzikirnya orang ahli asbab adalah
bekerja. Senada dengan pendapat imam Ghazali, bahwa dzikir sufistik
seorang guru bukanlah wirid semalam suntuk, tapi mutho’laah kitab,
menyusun bahan ajar dan mengejakan ilmu di depan santri-santrinya, itulah dzikir
seorang guru.
Kelas kedua
adalah maqam tajrid. Maqam orang yang dipilih Allah untuk
mencurahkan tenaga, pikiran, waktu dan semuanya, hanya untuk menghadap pada
Allah. Orang-orang yang disingkirkan Allah dari pikuk warna dunia. Kebutuhan
hidupnya dijamin Allah dengan cara yang berbeda dengan orang asbab. Jika
Allah menjamin rejeki orang-orang asbab dengan proses kreatif bekerja,
maka orang ahli tajrid (al mutajarrid) diberikan rejeki dengan
cara-cara yang tak terjangkau rasio manusia asbab.
Al mutajarrid adalah mereka yang benar-benar
telah mengosongkan diri dari dinamika dunia. Orang ahli tajrid tidak
gelisah suatu saat ia kelaparan dan tidak ada sesuap makanan yang bisa ia
telan. Mereka juga tidak lagi berpikir esok akan makan apa? Yang ada dan terus
mereka bina adalah kepasrahan dan bergantung sepenuhnya pada Allah.
Hakikatnya asbab
dan tajrid adalah sama, kendati keduanya berbeda kelas, beda fasilitas,
namun keduanya berjalan ke arah yang sama: ridhallah. Hanya saja, untuk
sampai di ridha Allah, orang asbab dan tajrid menempuh jalan yang
berbeda. Almutasabbib menempuh jalan kreatifitas yang ditiupkan ruh
spiritualitas, jadi orang asbab menggembala kambing limardhotillah, mencangkul
limardhotillah, atau bahkan memulung juga limardhotillah. Sementara
al mutajarrid menuju Allah dengan menempuh jalan sunyi, menghindar dari
aktifitas duniawi dan menperkaya ibadah
bernuansa kepasrahan.
Menuju Tajrid;
Syahwat Yang Tersembunyi?
Mungkin Ibnu
Atha’illah gelisah ketika menyaksikan sebagian orang pada waktu itu, mereka
yang semula berdagang di pasar, namun karena merasa jerih, repot dan hasilnya
tidak seberapa, sehingga mereka ingin banting setir ke masjid guna menghabiskan
waktu produktifnya untuk berdzikir, karena menyaksikan para ahli ibadah yang
tidak pernah bekerja tapi kebutuhannya tercukupi, bahkan mungkin kalau jaman
sekarang, punya mobil mewah. Atau justeru sebaliknya, jangan-jangan ada juga
orang yang semula ahli dzikir, tapi karena rejekinya pas-pasan, sementara ia
menyaksikan para juragan hidup sukses, sehingga ia ingin banting setir
meletakkan tasbih, meninggalkan sajadah dan memulai karir menjadi pengusaha
pemula.
Kegelisahan
Ibnu Atha’illah yang unik ini tertuang dalam ungkapannya ;
إِرَادَتُكَ التَّجْرِيدَ مَعَ
إقَامَةِ اللّهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ
وَإِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ
اللّهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْدِ اِنْحِطَاطٌ عَنِ الهِمَّةِ العَلَيَّةِ
Keinginanmu
untuk berada di maqam tajrid, sementara Allah menempatkanmu di maqam
asbab, ini termasuk syahwat yang
tersembunyi. Dan keinginanmu berada maqam asbab, sementara Allah
menempatkanmu di maqam tajrid, berarti turun dari cita-cita yang mulia.
Syahwat tersembunyi, ia kadang tumbuh menjamur
dalam diri tapi tak tersadari. Kata Ibnu Atha’illah, seperti seorang yang
ditempatkan Allah pada maqam asbab, tapi ia menggebu-gebu ingin naik
tahta ke maqam tajrid. Allah
mentakdirkannya sebagai manusia aktif yang seharusnya bergumul dengan dunia kreatif
yang dhahir (baca: bekerja, belajar, melakukan aktifitas sosial dan semua hal
yang bersifat duniawi—sehingga kebutuhan hidupnya tercukupi melalui aktifitas
kreatif), namun ia tidak puas, dan ingin naik ke derajat tajrid, ingin duduk di atas
sajadah memutar tasbih dan menghabiskan seluruh waktu dalam 24 jam dengan
ibadah, namun persoalan hidupnya tercukupi. Contoh sederhananya, orang yang fitrahnya
sebagai petani, tapi ingin gantung cangkul dan menggantinya dengan tasbih.
Dikatakan
syahwat sedikitnya karena tiga alasan. Pertama, ingin keluar dari
fitrah/takdir Allah—semisal ia adalah petani, ia ingin keluar dari takdirnya sebagai
petani. Bahkan ekstrimnya terkesan tidak ridho dengan takdir kediriannya
sebagai petani.
Kedua, boleh jadi yang diinginkan
sesungguhnya bukan taqarrub dan melatih keyakinan, melainkan keinginan
menempuh jalan yang dianggapnya lebih mudah, praktis, menyenangkan. Syahwat
mana yang tidak ingin lepas dari kejerihan mencangkul, dan lebih memilih duduk
santai di atas sajadah, dan kebutuhan hidupnya dijamin Allah?
Ketiga, sesungguhnya orang yang ingin
pindah dari maqam asbab ke maqam tajrid tidak memiliki keyakinan
dalam menghadapi kesulitan hidup saat ada di maqam tajrid. Sehingga
ketika ia tidak tahan, besar kemungkinan ia memutuskan kembali ke maqam
asbab. Tentu ini pilihan yang tidak menyenangkan. Lebih baik menjalani maqam
asbab dengan tulus ketimbang memaksakan diri berada di maqam tajrid,
giliran ia merasa tidak mampu, terpaksa kembali ke maqam asbab.
Dikategorikan
syahwat tersembunyi (khofiy) karena nafsu ini secara dhohir tampak
mengosongkan diri dari perkara duniawi, namun batinnya grundel dan thama’ ingin
mendapat kemudahan hidup dan kesenangan batin (ar rohah), kekeramatan
dan aspek lain yang ada di tingkatan tajrid. Ia juga disebut syahwat
khofiyyah karena praktiknya merupakan sebentuk tindakan “kurang sopan” (su’ul
adab), karena menginginkan keluar dari takdir Allah atas keinginannya
sendiri dan enggan bersabar sesampai Allah mengijinkannya keluar dari fitrah maqam
asbab ke maqam tajrid.
Ashaabul
Huzni; Orang-Orang Galau
Keinginan adalah sumber dari
kelalaian kita bersyukur atas apa yang Allah beri, dan itu adalah derita. Keinginan
adalah sumber yang menjerumuskan kita menjadi serakah, selayak syahwat
khofiyyah orang asbab yang ingin naik ke maqam tajrid, atau ahli
tajrid yang ingin turun ke dunia asbab. Itu syahwat, dan itu derita.
Terkadang
benih syahwat khofiyyah tumbuh di dalam diri kita, namun kita sering
kurang cermat mendeteksi. Seperti ketika seorang hamba yang banting setir dari
bekerja secara normal sebagaimana orang kebanyakan, kemudian ia mulai
menghabiskan waktunya dengan berbagai jenis sholat sunnah, dzikir dan wirid, yang
sepengetahuannya dapat melapangkan rejeki.
Sebenarnya apa
yang sedang ia lakukan? Apakah hakikat amaliyahnya di atas sajadah adalah taqarrub
kepada Allah atau justeru ditujukannya sebagai sebentuk pengganti pekerjaan
untuk memenuhi hasrat kebutuhan duniawinya? Jika niatannya adalah yang pertama,
murni karena igin taqarrub kepada Allah, maka niatan ini disebut himmah
aliyyah (cita-cita yang luhur). Namun, jika niatannya yang kedua,
menggunakan ibadah untuk mencari rejeki, ini yang disebut sebagai himmah
dziniyyah (cita-cita murahan, rendah).
Ada lagi
jenis orang yang diberi kepercayaan Allah di maqam asbab, diberi
kemudahan dalam bekerja secara kreatif, namun saking sibuknya mengurus harta,
sehingga ia tenggelam di lautan harta. Terlalu sibuk mengurus harta sehingga
ibadahnya secara berangsur terlupa. Mereka orang yang lupa bahwa di dalam
rejeki yan direguknya, ada campur tangan Allah. Mereka lupa bahwa rejeki yang
dipapahnya, hakikatnya ujian untuk meningkatkan kualitas kesalehannya. Karena
terlena dengan kerlip dunia, sehingga ia dimiliki oleh dunia, menjadi budak
harta.
Satu lagi,
adalah kelompok orang yang ditempatkan di maqam asbab, yang suatu ketika
diuji Allah dengan kekurangan, namun ia memilih menyerah. Menyerah yang bukan
pasrah, tapi menyerah dengan sepenggal kekecewaan, lalu muncul buruk sangka
pada takdir Allah, dan pada akhirnya tergiur dengan jalan pintas. Termasuk
jenis ini adalah pelaku kriminal dengan beragam coraknya, mulai dari pencuri
anak ayam hingga koruptor kelas kakap.
Sedikitnya
ada tiga jenis manusia bermasalah ditilik dari teori maqam asbab dan maqam
tajrid. Kaum pesakitan sok ingin tajrid, tapi yang terjadi justeru mengejar
dunia dengan pendekatan ibadah, sehingga praktik ibadahnya cenderung
materialis. Atau kaum yang terjerat kehidupan duniawi, terlena, dimiliki dunia
dan pada akhirnya menjadi hamba harta. Satu lagi, kaum yang putus asa degan
derajat asbab dan segala ujiannya, sesampai ia memutuskan untuk menempuh jalan
yang direkomendasikan oleh syetan.
Terapi
Dala’il Khairat; Menaklukkan Ujian Maqam asbab
Kisah
menarik, ketika rosulullah mendapati para sahabat memanjat pohon kurma,
rosulullah bertanya perihal apa yang mereka lakukan. Para sahabat menjawab
bahwa mereka sedang mengawinkan serbuk bunga kurma agar kurmanya mau berbuah.
Rosulullah tersenyum, “Antum a’lamu bi umuri dunyakum, kalian lebih tahu
dengan urusan dunia kalian”, dawuh Rosulullah.
Atau, ketika
beberapa kali para sahabat yang lain datang pada rosulullah dengan pertanyaan
polos mereka yang hampir senada, “Ya rosulullah, pekerjaan apa yang terbaik
bagiku”? lalu rosulullah menjawab dengan jawaban yang bervariasi, terkadang
rosulullah menjawab bahwa berdagang adalah pekerjaan yang paling baik, kepada
sahabat yang lain rosulullah pernah menjawab bertani adalah pekerjaan yang
terbaik. Dawuh ini menjadi sinyalemen, bagaimana rosulullah merestu atau bahkan
lebih dari itu, memberikan motivasi dan kepercayaan kita untuk menjadi manusia
kreatif di maqam asbab.
Tidak ada yang hina dengan kedudukan kita di maqam
asbab sebagai pekerja. Tidak ada yang salah pula ketika kita bergumul
dengan kerlip dunia. Justeru berada di posisi sebagai pekerja adalah anugerah
cantik dari Allah. Allah ingin kita menjadi orang yang berguna bagi orang lain.
Sebagaimana petani menjadi tulang punggung pangan bagi yang lainnya.
Menjadi
orang berpangkat asbab adalah mulia. Hanya saja, tantangannya berat.
Berada di maqam asbab, di alam kreatif yang bergumul dengan pikuk dunia
tentu sangat ramai, gaduh, penuh dengan godaan. Berdagang adalah aktifitas asbabi
yang mulia, namun godaannya tidak sedikit, sehingga banyak yang tergiur untuk
melakukan cara hitam, mulai dari mengurangi satu gram timbangan tepung hingga
penipuan bisnis kelas kakap. Sebagaimana menjadi pejabat adalah jabatan asbabi
yang mulia, namun yang celaka adalah ketika tergoda delik korupsi.
Hitam dan
putihnya proses asbab seorang hamba, itulah ujian tingkat pertama di
tingkat asbab. Ujian yang menghadapkan kita dengan hal-hal yang sifatnya
syar’i, antara hala dan haram. Bersikap cerdas dan religius di ranah ini sulit,
namun sejauh syariat seorang hamba kuat, sholat dan ibadah wajibnya
berkualitas, Insyaallah sikap cerdas di ujian pertama ini lolos.
Ujian
tingkat kedua adalah kualitas niat dalam berproses di maqam asbab.
Bekerja untuk kaya tentu bukan niat yang cerdas dan saleh. Bekerja adalah murni
karena ímtitsalan li amrillah, patuh dan sendiko pada perintah
dan keputusan Allah yang menempatkan kita di maqam asbab, yang,
tujuannya adalah mencari ridhaNya. Jadi, ukuran kesuksesan berproses di maqam
asbab ditilik dari niatannya adalah bukan pada seberapa besar prestasi dhahir
nya, melainkan seberapa jarak yang ditempuh proses asbab untuk
mengantarkannya mendekat pada Allah.
Ketiga, ujian yang mengukur kualitas
cara pandang kita pada dunia. Hakikatnya, dunia dan proses kreatif asbabi
yang kita tempuh adalah jalan menggapai ridhallah. Mudahnya, dunia
adalah modal kita mencari Allah. Jadi proses kita di maqam asbab adalah
untuk memiliki dunia yang pada saat yang sama, akan kita gunakan untuk
perjalanan panjang mencari ridhallah. Bukan sebaliknya, berproses di maqam
asbab tapi justeru kita dimiliki oleh dunia, atau bahkan menuhankan dunia.
Ujian
berikutnya, yang keempat, adalah pertanyaan sejauh mana dunia dan maqam
asbab kita terjemahkan ke dalam laku syukur kepada Allah. Sederhananya,
proses dan hasil kreatif kita di maqam
asbab akan tampak kualitasnya bergantung pada timbangan amal kita, seberapa
banyak rejeki yang kita “kembalikan” pada Allah; yang kita beri untuk masjid,
madrasah, fakir miskin, zakat, dan seterusnya.
Kelima, adalah ujian yang berkait
dengan keyakinan dan ahlak kepada Allah. Tentu ingat dengan kisah Qorun yang
congkak dengan kekayaannya, atau di sekeliling kita mungkin ada sesosok orang
yang dengan sebidang kekayaannya kemudian merasa bahwa dirinya kuat, kekayaan
yang termilikinya adalah hasil usaha kreatifnya, lupa bahwa yang termilikinya
tanpa kecuali adalah atas kehendak Allah.
Ujian keenam,
renungan introspeksi tentang sejauh mana ketulusan kita menjalani maqam
asbab. Maqam yang seharusnya kita amini dan jalani sebagai proses
kepasrahan atas pilihan terbaik Allah yang dianugerahkan pada kita. Maqam
yang darinya kita akan mendaki tangga ridhallah. Husnudzon pada
takdir Allah dan berupaya sepenuh ikhlas menerima dan menjalaninya sebagai
sebentuk kepatuhan, keyakinan, sehingga tidak ada sedikitpun kehendak untuk
berpindah maqam sebagaimana Ibnu Athaillah menyebutnya syahwat
khofiyyah, kecuali Allah sendiri yang memindahtugaskan kita di maqam
tajrid.
Menjadi mutasabbib
sejati, minimal harus sukses di enam ujian ini. Melampaui kekhawatiran kebanyakan
kaum sufi-zahid yang menganggap bahwa berada dekat dengan dunia adalah kondisi
yang rawan dengan penyakit hati, salah satunya adalah hubbub al dunya, cinta
dunia. Artinya maqam asbab rawan terjangkit wabah cinta dunia, untuk
kemudian lupa dzikrullah. Tidak demikian, justeru maqam asbab
menjadi prestasi gemilang ketika kita mampu mengalahkan godaan kemerlip dunia
dan memberdayakan alam asbab kita sebagai media dzikrullah. Yang
pasti godaan kaum asbab berat, sehingga butuh terapi agar lolos dari
sedikitnya enam ujian di atas.
Syaikh Abu
Hasan As Syadzili memberi sedikitnya empat tips terapi untuk kaum asbab;
pertama, mentradisikan berbuat baik (muwalatul abror) dan
menjauhi perbuatan nista (mujaniyatul fujjar). Kedua, mendirikan
sholat secara berjamaah. Ketiga, berlaku muwasah terhadap fakir
miskin atas apa yang dibukakan untuknya. Keempat, berlaku sebagaimana ahli
tajrid, di antaranya hormat pada yang lebih besar, memberi kasih sayang
yang lebih kecil.
Tips
pertama, muwalatul abror (mentradisikan berbuat baik) dan mujaniyatul
fujjar (menjauhi perbutan) di antaranya tertuang dalam lakon spiritual yang
kita amini dan amalkan dengan nama Dalail Khairat. Dalail Khairat di genggaman
tangan pewiridnya adalah sebentuk terapi ahli asbab sekaligus ahli
tajrid.
Bagi ahli
asbab, Dalail khairat adalah serangkai terapi wirid selawat yang secara dzatiyah
merupakan amaliyah sunnah, sekaligus ia juga merupakan terapi untuk
memerangi hawa nafsu. Syaikh al Jazuli
mengungkapkan nasihat penting;
وَاِذَا رَئَيْتَ النَّفْسَ مِنْكَ تَحَكَّمَتْ وَغَدَتْ تَقُوْدُكَ فِيْ
لَظَى الشَّهَوَاتِ
فَاصْرِفْ هَوَاهَا بِالصَّلَاةِ مُوَاضِبًا لَا سِيَمَّا بِدَلَائِلِ
اْلخَيْرَاتِ
Melalui
syair ini, Syaikh al Jazuli berpesan; ketika nyata dalam diri kita seonggok
nafsu yang menggiring kita ke jurang syahwat dan pintu neraka, baiknya kita
mengusir nafsu ini dengan memperbanyak selawat kepada rosulullah, di antaranya
dengan selawat Dalail Khairat.
Wirid dalail
khairat menjadi sentuhan penting untuk membina nafsu. Dan termasuk nafsu adalah
gejolak cinta dunia. Dalail khariat hendak mengantarkan kita sampai pada zona
ketulusan dalam memandang dan memperlakukan dunia. Dalail khairat juga ingin
menjagai kita dari godaan syahwat duniawi, sehingga tak sedikitpun hati kita
bergeming dari dzikrullah dan dzikrunnabi.
Dalail
Khairat mewanti kita agar tak menjadi seperti dalam penggal nadzam Adzkiya’;
ومحب الدنيا قائل اين
الطريق اين الخلاص كمشكرشرب الطلا
Dalail
Khairat menjagai kita agar tak berbuat tindakan bodoh pecinta dunia yang dalam
keadaan seperti orang mabuk yang sekonyong-konyong berkata “di manakah al
thoriq (thariqah menuju ridhallah)?”. Adakah yang keluar dari mulut
seorang yang tengah mabuk kecuali omong kosong, igauan, tanpa maksud, tak
berdasar, tanpa keyakinan. Dalail Khairat adalah madrasah agar kita tak menjadi
bodoh karena cinta dunia, sebodoh pemabuk yang mengigau pertanyaan tentang
ikhlas.
Teruntuk
para mutasabbib, Dalail Khairat adalah sebentuk proses tarbiyah (pendidikan,
gemblengan) yang membangun berbagai ranah jiwa. Pertama, tarbiyatul yaqin,
menggembleng keyakinan kepada Allah. Ketika seorang mutasabbib
bekerja atau mengupayakan sesuatu melalui proses dhohir, mendapatkan
rejeki, keberuntungan, maka wirid Dalail Khairat adalah pengingat bahwa rejeki
dan apapun yang diperolehnya adalah fadhal dari Allah.
Imam Muhammad
Al Muhdi dalam “Mathali’ul Musirrot”, syarh Dalail Khairat
karyanya, mengutip Al Hafidz Jalal Al Shuyuthi saat mengomentari hadits
selawat pembuka pintu rejeki;
مَنْ عَسُرَتْ عَلَيْهِ حَاجَةٌ فَلْيُكْثِرْ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيَّ
فَإِنَّهَا تُحِلُّ الْعَقْدَ وَتُكْشِفُ اْلهُمَّ وَاْلحَزْنَ وَتُكْثِرُ اْلأرْزَاقَ
Maksud dari hadits ini, menurut Al Shuyuthi, bahwa selawat kita atas nabi
adalah sabab (faktor) dibukakannya pintu rejeki dan semua hajat yang
disebutkan dalam hadits tersebut. Sedangkan terwujudnya berbagai hajat ini
murni atas izin, kuasa, kehendak dan fadhal dari Allah.
Bagi mutasabbib,
pemahaman ini penting ditanamkan sebagai pondasi keyakinan dalam mengkombinasi
lakon kreatifitas bekerja dan keyakinan tauhid. Manusia berusaha sebagai
sebentuk ikhtiyar dan kepatuhan, dan, Allah yang menentukan. Buah dari
keyakinan ini adalah tawadhu’, memahami dan meyakini bahwa apa yang
dicapainya adalah kemurahan dan fadhal Allah, sehingga tidak ada alasan
untuk takabbur, pun tidak ada alasan untuk tidak bersyukur.
Kedua, tarbiyah tawakkal.
Selawat Dalail Khairat, pun selawat pada umumnya, adalah jembatan spiritual
untuk memaknai dunia asbab dan segala pernik kreatifitas kita dengan ruh
tawakkal. Kepasrahan adalah modal penting untuk sampai pada keyakinan atas
Dzat yang Maha Meliputi. Buah dari kepasrahan ini adalah husudzon kepada
Allah, bahwa Allah adalah satu-satunya Yang Berkehendak, bahwa Allah
menganugerah yang terbaik untuk tiap hamba. Kepasrahan yang mematikan segala
kehendak diri seorang hamba. Apa yang dijalani adalah semata bentuk kepatuhan
pada kehendak Allah. Jika telah sampai pada kualitas tawakkal yang
demikian, tanda bahwa Allah menganugerahkan kita “derajat tajrid” dan
bukan hanya “kelas tajrid”.
Perbedaan
tipis antara maqam asbab dan maqam tajrid di ranah batin adalah
kepasrahan, hal yang sifatnya sangat bathiniyyah. Tidak adil jika
mengukur asbab dari segi ruang dan atau aktifitasnya, dari segi yang dhahir.
Maka lebih tidak adil jika sesama hamba mengkategori yang ini yang asbab
dan itu tajrid. Hak sepenuhnya untuk menempatkan, menilai dan membalas
karya kita di maqam asbab atau tajrid ada di kuasa dan kehendak
Allah.
Maka menarik seruan penggal redaksi niat selawat Dalail Khairat,
اَللَّهُمَّ اِنِّيْ
أَبْرَءُ اِلَيْكَ مِنْ حَوْلِي وَقُوَّتِي اِلَى حَوْلِكَ وَقُوَّتِكَ
Ya Allah,
sungguh aku mengibra’kan, menyerahkan dan pasrah seutuhnya; kemampuan dan
kekuatanku pada sempurnanya kekuatanMu.
Do’a niat
selawat Dalail Khairat ini meniupkan ruh kepasrahan yang puncak, kepasrahan
yang menihilkan setitikpun kemampuan dan kehendak hamba kepada Kemahakuasaan
Allah. Do’a niat ini adalah penggal pengakuan kedhaifan hamba sekaligus ikrar
persaksian atas Kemahasegalaan Allah. Dalam kata lain, niat Dalail Khairat ini
menyeru kita untuk menata ketulusan batin untuk sampai pada kualitas ketulusan tajrid.
Dikuatkan
dengan munajat Syaikh al Jazuli pada wirid hari sabtu;
يَا مَنْ قََالَ وَقَوْلُهُ
الْحَقُّ: وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ, وَلَا يَصْدُرُ عَنْ اَحَدٍ
مِنْ عَبِيْدِهِ قَوْلٌ وَلَا فِعْلٌ وَلَا حَرَكَةٌ وَلَاسُكُوْنٌ اِلَّا وَقَدْ
سَبَقَ فِيْ عِلْمِهِ وَقَضَائِهِ وَقَدْرِهِ كَيْفَ يَكُوْنُ
Wahai Dzat
yang Maha berfirman dan Dzat yang firmanNya haq; Dan Allah yang telah
menciptakanmu dan segala yang engkau perbuat (QS. As Shoffat:96). Dan tidaklah
tercipta ungkapan dari seorang hamba, tidak pula satu perbuatan, gerak, diam,
kecuali telah ada dalam ilmu Allah, qadha’ dan qadarNya,
seperti apa perangai seorang hamba.
Munajat ini
sengaja diungkapkan Syaikh Al Jazuli di permulaan penggal do’annya sebelum
mendo’a agar Allah berkenan menganugerahkan syafaat untuknya dan semua orang
yang cinta dan meneladani rosulullah.
Syaikh Al
Jazuli hendak mengingatkan kita untuk terus mengamini dan mengimani makna
kedhaifan hamba, tak terkecuali Syaikh Al Jazuli. Beliau mengajarkan bagaimana
sejatinya tajrid adalah meniadakan diri, pasrah dengan kedhaifan diri,
sebagaimana tanpa secuilpun rasa malu, di kelanjutan penggal do’a ini Syaikh Al
Jazuli mengakui, jika bukan karena qadha’ Allah agar ia menulis kumpulan
selawat, kitab bernama Dala’il al Khairat ini tidak akan pernah ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar