Cari Blog Ini

Senin, 10 Juni 2013

Dalail Khairat; Minal Asbab Ila Tajrid

Dalail Khairat; Minal Asbab Ila Tajrid
إِرَادَتُكَ التَّجْرِيدَ مَعَ إقَامَةِ اللّهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ
وَإِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللّهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْدِ اِنْحِطَاطٌ عَنِ الهِمَّةِ العَلَيَّةِ
Keinginanmu untuk berada di maqam tajrid, sementara Allah menempatkanmu di maqam asbab,  ini termasuk syahwat yang tersembunyi. Dan keinginanmu berada maqam asbab, sementara Allah menempatkanmu di maqam tajrid, berarti turun dari cita-cita yang mulia. (Ibnu Atha’illah)
Asbab-Tajrid: Dua Kelas, Satu Derajat
Menurut Ibnu Atha’illah, Allah memberikan maqam (ruang kreatif) yang berbeda kepada setiap hamba. Pemberian tingkatan ini berkait dengan peran manusia sebagai makhluk dengan segala hak dan kewajibannya. Berkaitan dengan hak, Allah memberikan setiap hamba maqam yang berbeda untuk mendapatkan “hak”nya; seperti rejeki, jodoh, dan segala bentuk nikmat duniawi pemberian Allah. Berkaitan dengan kewajiban, tugas, Allah pun memberikan setiap hamba maqam yang berbeda dalam melakoni tugasnya sebagai Abid (penghamba) dan khalifah (pemakmur bumi).
Lahirlah istilah asbab dan tajrid untuk mendefinisi dua maqam yang dalam pengamatan Ibnu Atha’illah, dua maqam ini diberikan kepada dua insan yang berbeda. Dua maqam yang kelas, jenis dan fasilitasnya berbeda, namun tingkat, derajat dan tujuannya sama.
Maqam asbab adalah  ruang kreatif mereka yang kehidupannya ada di pergumulan derap dunia. Untuk mendapatkan haknya dari Allah, mereka ada di pasar untuk berdagang, sebagian lagi mengolah sawah, menjadi karyawan, pengusaha dan banyak lagi.  Mereka adalah orang-orang yang kelas haknya di maqam asbab. Artinya, untuk mendapatkan haknya berupa rejeki, mereka ditakdirkan Allah mendapatkannya melalui proses kreatif bekerja.
Ihwal kewajiban orang asbab (al mutasabbib), mereka juga diberi porsi yang luas oleh Allah untuk menghamba melalui aktifitas di maqam asbabnya. Tentu ibadah yang dimaksud di sini adalah ibadah di luar rukun Islam. Artinya, kegiatan kreatif mereka di dunia nyata adalah sebentuk ibadah. Sebagaimana seorang ayah yang mencari nafkah untuk keluarganya, inilah sebentuk ibadah seorang mutasabbib.
Jadi benar apa kata Ibnu Ajibah ketika mengomentari konsep asbab tajrid Ibnu Atha’illah ini, bahwa dzikirnya orang ahli asbab adalah bekerja. Senada dengan pendapat imam Ghazali, bahwa dzikir sufistik seorang guru bukanlah wirid semalam suntuk, tapi mutho’laah kitab, menyusun bahan ajar dan mengejakan ilmu di depan santri-santrinya, itulah dzikir seorang guru.
Kelas kedua adalah maqam tajrid. Maqam orang yang dipilih Allah untuk mencurahkan tenaga, pikiran, waktu dan semuanya, hanya untuk menghadap pada Allah. Orang-orang yang disingkirkan Allah dari pikuk warna dunia. Kebutuhan hidupnya dijamin Allah dengan cara yang berbeda dengan orang asbab. Jika Allah menjamin rejeki orang-orang asbab dengan proses kreatif bekerja, maka orang ahli tajrid (al mutajarrid) diberikan rejeki dengan cara-cara yang tak terjangkau rasio manusia asbab.
Al mutajarrid adalah mereka yang benar-benar telah mengosongkan diri dari dinamika dunia. Orang ahli tajrid tidak gelisah suatu saat ia kelaparan dan tidak ada sesuap makanan yang bisa ia telan. Mereka juga tidak lagi berpikir esok akan makan apa? Yang ada dan terus mereka bina adalah kepasrahan dan bergantung sepenuhnya pada Allah.
Hakikatnya asbab dan tajrid adalah sama, kendati keduanya berbeda kelas, beda fasilitas, namun keduanya berjalan ke arah yang sama: ridhallah. Hanya saja, untuk sampai di ridha Allah, orang asbab dan tajrid menempuh jalan yang berbeda. Almutasabbib menempuh jalan kreatifitas yang ditiupkan ruh spiritualitas, jadi orang asbab menggembala kambing limardhotillah, mencangkul limardhotillah, atau bahkan memulung juga limardhotillah. Sementara al mutajarrid menuju Allah dengan menempuh jalan sunyi, menghindar dari aktifitas duniawi dan menperkaya ibadah  bernuansa kepasrahan.
Menuju Tajrid; Syahwat Yang Tersembunyi?
Mungkin Ibnu Atha’illah gelisah ketika menyaksikan sebagian orang pada waktu itu, mereka yang semula berdagang di pasar, namun karena merasa jerih, repot dan hasilnya tidak seberapa, sehingga mereka ingin banting setir ke masjid guna menghabiskan waktu produktifnya untuk berdzikir, karena menyaksikan para ahli ibadah yang tidak pernah bekerja tapi kebutuhannya tercukupi, bahkan mungkin kalau jaman sekarang, punya mobil mewah. Atau justeru sebaliknya, jangan-jangan ada juga orang yang semula ahli dzikir, tapi karena rejekinya pas-pasan, sementara ia menyaksikan para juragan hidup sukses, sehingga ia ingin banting setir meletakkan tasbih, meninggalkan sajadah dan memulai karir menjadi pengusaha pemula.
Kegelisahan Ibnu Atha’illah yang unik ini tertuang dalam ungkapannya ;
إِرَادَتُكَ التَّجْرِيدَ مَعَ إقَامَةِ اللّهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ
وَإِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللّهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْدِ اِنْحِطَاطٌ عَنِ الهِمَّةِ العَلَيَّةِ
Keinginanmu untuk berada di maqam tajrid, sementara Allah menempatkanmu di maqam asbab,  ini termasuk syahwat yang tersembunyi. Dan keinginanmu berada maqam asbab, sementara Allah menempatkanmu di maqam tajrid, berarti turun dari cita-cita yang mulia.

 Syahwat tersembunyi, ia kadang tumbuh menjamur dalam diri tapi tak tersadari. Kata Ibnu Atha’illah, seperti seorang yang ditempatkan Allah pada maqam asbab, tapi ia menggebu-gebu ingin naik tahta ke maqam tajrid.  Allah mentakdirkannya sebagai manusia aktif yang seharusnya bergumul dengan dunia kreatif yang dhahir (baca: bekerja, belajar, melakukan aktifitas sosial dan semua hal yang bersifat duniawi—sehingga kebutuhan hidupnya tercukupi melalui aktifitas kreatif), namun ia tidak puas, dan ingin naik ke  derajat tajrid, ingin duduk di atas sajadah memutar tasbih dan menghabiskan seluruh waktu dalam 24 jam dengan ibadah, namun persoalan hidupnya tercukupi. Contoh sederhananya, orang yang fitrahnya sebagai petani, tapi ingin gantung cangkul dan menggantinya dengan tasbih.
Dikatakan syahwat sedikitnya karena tiga alasan. Pertama, ingin keluar dari fitrah/takdir Allah—semisal ia adalah petani, ia ingin keluar dari takdirnya sebagai petani. Bahkan ekstrimnya terkesan tidak ridho dengan takdir kediriannya sebagai petani.
Kedua, boleh jadi yang diinginkan sesungguhnya bukan taqarrub dan melatih keyakinan, melainkan keinginan menempuh jalan yang dianggapnya lebih mudah, praktis, menyenangkan. Syahwat mana yang tidak ingin lepas dari kejerihan mencangkul, dan lebih memilih duduk santai di atas sajadah, dan kebutuhan hidupnya dijamin Allah?
Ketiga, sesungguhnya orang yang ingin pindah dari maqam asbab ke maqam tajrid tidak memiliki keyakinan dalam menghadapi kesulitan hidup saat ada di maqam tajrid. Sehingga ketika ia tidak tahan, besar kemungkinan ia memutuskan kembali ke maqam asbab. Tentu ini pilihan yang tidak menyenangkan. Lebih baik menjalani maqam asbab dengan tulus ketimbang memaksakan diri berada di maqam tajrid, giliran ia merasa tidak mampu, terpaksa kembali ke maqam asbab.
Dikategorikan syahwat tersembunyi (khofiy) karena nafsu ini secara dhohir tampak mengosongkan diri dari perkara duniawi, namun batinnya grundel dan thama’ ingin mendapat kemudahan hidup dan kesenangan batin (ar rohah), kekeramatan dan aspek lain yang ada di tingkatan tajrid. Ia juga disebut syahwat khofiyyah karena praktiknya merupakan sebentuk tindakan “kurang sopan” (su’ul adab), karena menginginkan keluar dari takdir Allah atas keinginannya sendiri dan enggan bersabar sesampai Allah mengijinkannya keluar dari fitrah maqam asbab ke maqam tajrid.

Ashaabul Huzni; Orang-Orang Galau


Keinginan adalah sumber dari kelalaian kita bersyukur atas apa yang Allah beri, dan itu adalah derita. Keinginan adalah sumber yang menjerumuskan kita menjadi serakah, selayak syahwat khofiyyah orang asbab yang ingin naik ke maqam tajrid, atau ahli tajrid yang ingin turun ke dunia asbab. Itu syahwat, dan itu derita.
Terkadang benih syahwat khofiyyah tumbuh di dalam diri kita, namun kita sering kurang cermat mendeteksi. Seperti ketika seorang hamba yang banting setir dari bekerja secara normal sebagaimana orang kebanyakan, kemudian ia mulai menghabiskan waktunya dengan berbagai jenis sholat sunnah, dzikir dan wirid, yang sepengetahuannya dapat melapangkan rejeki.
Sebenarnya apa yang sedang ia lakukan? Apakah hakikat amaliyahnya di atas sajadah adalah taqarrub kepada Allah atau justeru ditujukannya sebagai sebentuk pengganti pekerjaan untuk memenuhi hasrat kebutuhan duniawinya? Jika niatannya adalah yang pertama, murni karena igin taqarrub kepada Allah, maka niatan ini disebut himmah aliyyah (cita-cita yang luhur). Namun, jika niatannya yang kedua, menggunakan ibadah untuk mencari rejeki, ini yang disebut sebagai himmah dziniyyah (cita-cita murahan, rendah).
Ada lagi jenis orang yang diberi kepercayaan Allah di maqam asbab, diberi kemudahan dalam bekerja secara kreatif, namun saking sibuknya mengurus harta, sehingga ia tenggelam di lautan harta. Terlalu sibuk mengurus harta sehingga ibadahnya secara berangsur terlupa. Mereka orang yang lupa bahwa di dalam rejeki yan direguknya, ada campur tangan Allah. Mereka lupa bahwa rejeki yang dipapahnya, hakikatnya ujian untuk meningkatkan kualitas kesalehannya. Karena terlena dengan kerlip dunia, sehingga ia dimiliki oleh dunia, menjadi budak harta.
Satu lagi, adalah kelompok orang yang ditempatkan di maqam asbab, yang suatu ketika diuji Allah dengan kekurangan, namun ia memilih menyerah. Menyerah yang bukan pasrah, tapi menyerah dengan sepenggal kekecewaan, lalu muncul buruk sangka pada takdir Allah, dan pada akhirnya tergiur dengan jalan pintas. Termasuk jenis ini adalah pelaku kriminal dengan beragam coraknya, mulai dari pencuri anak ayam hingga koruptor kelas kakap.
Sedikitnya ada tiga jenis manusia bermasalah ditilik dari teori maqam asbab dan maqam tajrid. Kaum pesakitan sok ingin tajrid, tapi yang terjadi justeru mengejar dunia dengan pendekatan ibadah, sehingga praktik ibadahnya cenderung materialis. Atau kaum yang terjerat kehidupan duniawi, terlena, dimiliki dunia dan pada akhirnya menjadi hamba harta. Satu lagi, kaum yang putus asa degan derajat asbab dan segala ujiannya, sesampai ia memutuskan untuk menempuh jalan yang direkomendasikan oleh syetan.
Terapi Dala’il Khairat; Menaklukkan Ujian Maqam asbab
Kisah menarik, ketika rosulullah mendapati para sahabat memanjat pohon kurma, rosulullah bertanya perihal apa yang mereka lakukan. Para sahabat menjawab bahwa mereka sedang mengawinkan serbuk bunga kurma agar kurmanya mau berbuah. Rosulullah tersenyum, “Antum a’lamu bi umuri dunyakum, kalian lebih tahu dengan urusan dunia kalian”, dawuh Rosulullah.
Atau, ketika beberapa kali para sahabat yang lain datang pada rosulullah dengan pertanyaan polos mereka yang hampir senada, “Ya rosulullah, pekerjaan apa yang terbaik bagiku”? lalu rosulullah menjawab dengan jawaban yang bervariasi, terkadang rosulullah menjawab bahwa berdagang adalah pekerjaan yang paling baik, kepada sahabat yang lain rosulullah pernah menjawab bertani adalah pekerjaan yang terbaik. Dawuh ini menjadi sinyalemen, bagaimana rosulullah merestu atau bahkan lebih dari itu, memberikan motivasi dan kepercayaan kita untuk menjadi manusia kreatif di maqam asbab.
 Tidak ada yang hina dengan kedudukan kita di maqam asbab sebagai pekerja. Tidak ada yang salah pula ketika kita bergumul dengan kerlip dunia. Justeru berada di posisi sebagai pekerja adalah anugerah cantik dari Allah. Allah ingin kita menjadi orang yang berguna bagi orang lain. Sebagaimana petani menjadi tulang punggung pangan bagi yang lainnya.
Menjadi orang berpangkat asbab adalah mulia. Hanya saja, tantangannya berat. Berada di maqam asbab, di alam kreatif yang bergumul dengan pikuk dunia tentu sangat ramai, gaduh, penuh dengan godaan. Berdagang adalah aktifitas asbabi yang mulia, namun godaannya tidak sedikit, sehingga banyak yang tergiur untuk melakukan cara hitam, mulai dari mengurangi satu gram timbangan tepung hingga penipuan bisnis kelas kakap. Sebagaimana menjadi pejabat adalah jabatan asbabi yang mulia, namun yang celaka adalah ketika tergoda delik korupsi.
Hitam dan putihnya proses asbab seorang hamba, itulah ujian tingkat pertama di tingkat asbab. Ujian yang menghadapkan kita dengan hal-hal yang sifatnya syar’i, antara hala dan haram. Bersikap cerdas dan religius di ranah ini sulit, namun sejauh syariat seorang hamba kuat, sholat dan ibadah wajibnya berkualitas, Insyaallah sikap cerdas di ujian pertama ini lolos.
Ujian tingkat kedua adalah kualitas niat dalam berproses di maqam asbab. Bekerja untuk kaya tentu bukan niat yang cerdas dan saleh. Bekerja adalah murni karena ímtitsalan li amrillah, patuh dan sendiko pada perintah dan keputusan Allah yang menempatkan kita di maqam asbab, yang, tujuannya adalah mencari ridhaNya. Jadi, ukuran kesuksesan berproses di maqam asbab ditilik dari niatannya adalah bukan pada seberapa besar prestasi dhahir nya, melainkan seberapa jarak yang ditempuh proses asbab untuk mengantarkannya mendekat pada Allah.
Ketiga, ujian yang mengukur kualitas cara pandang kita pada dunia. Hakikatnya, dunia dan proses kreatif asbabi yang kita tempuh adalah jalan menggapai ridhallah. Mudahnya, dunia adalah modal kita mencari Allah. Jadi proses kita di maqam asbab adalah untuk memiliki dunia yang pada saat yang sama, akan kita gunakan untuk perjalanan panjang mencari ridhallah. Bukan sebaliknya, berproses di maqam asbab tapi justeru kita dimiliki oleh dunia, atau bahkan menuhankan dunia.
Ujian berikutnya, yang keempat, adalah pertanyaan sejauh mana dunia dan maqam asbab kita terjemahkan ke dalam laku syukur kepada Allah. Sederhananya, proses dan hasil kreatif  kita di maqam asbab akan tampak kualitasnya bergantung pada timbangan amal kita, seberapa banyak rejeki yang kita “kembalikan” pada Allah; yang kita beri untuk masjid, madrasah, fakir miskin, zakat, dan seterusnya.
Kelima, adalah ujian yang berkait dengan keyakinan dan ahlak kepada Allah. Tentu ingat dengan kisah Qorun yang congkak dengan kekayaannya, atau di sekeliling kita mungkin ada sesosok orang yang dengan sebidang kekayaannya kemudian merasa bahwa dirinya kuat, kekayaan yang termilikinya adalah hasil usaha kreatifnya, lupa bahwa yang termilikinya tanpa kecuali adalah atas kehendak Allah.
Ujian keenam, renungan introspeksi tentang sejauh mana ketulusan kita menjalani maqam asbab. Maqam yang seharusnya kita amini dan jalani sebagai proses kepasrahan atas pilihan terbaik Allah yang dianugerahkan pada kita. Maqam yang darinya kita akan mendaki tangga ridhallah. Husnudzon pada takdir Allah dan berupaya sepenuh ikhlas menerima dan menjalaninya sebagai sebentuk kepatuhan, keyakinan, sehingga tidak ada sedikitpun kehendak untuk berpindah maqam sebagaimana Ibnu Athaillah menyebutnya syahwat khofiyyah, kecuali Allah sendiri yang memindahtugaskan kita di maqam tajrid.
Menjadi mutasabbib sejati, minimal harus sukses di enam ujian ini. Melampaui kekhawatiran kebanyakan kaum sufi-zahid yang menganggap bahwa berada dekat dengan dunia adalah kondisi yang rawan dengan penyakit hati, salah satunya adalah hubbub al dunya, cinta dunia. Artinya maqam asbab rawan terjangkit wabah cinta dunia, untuk kemudian lupa dzikrullah. Tidak demikian, justeru maqam asbab menjadi prestasi gemilang ketika kita mampu mengalahkan godaan kemerlip dunia dan memberdayakan alam asbab kita sebagai media dzikrullah. Yang pasti godaan kaum asbab berat, sehingga butuh terapi agar lolos dari sedikitnya enam ujian di atas.
Syaikh Abu Hasan As Syadzili memberi sedikitnya empat tips terapi untuk kaum asbab; pertama, mentradisikan berbuat baik (muwalatul abror) dan menjauhi perbuatan nista (mujaniyatul fujjar). Kedua, mendirikan sholat secara berjamaah. Ketiga, berlaku muwasah terhadap fakir miskin atas apa yang dibukakan untuknya. Keempat, berlaku sebagaimana ahli tajrid, di antaranya hormat pada yang lebih besar, memberi kasih sayang yang lebih kecil.
Tips pertama, muwalatul abror (mentradisikan berbuat baik) dan mujaniyatul fujjar (menjauhi perbutan) di antaranya tertuang dalam lakon spiritual yang kita amini dan amalkan dengan nama Dalail Khairat. Dalail Khairat di genggaman tangan pewiridnya adalah sebentuk terapi ahli asbab sekaligus ahli tajrid.  
Bagi ahli asbab, Dalail khairat adalah serangkai terapi wirid selawat yang secara dzatiyah merupakan amaliyah sunnah, sekaligus ia juga merupakan terapi untuk memerangi hawa nafsu.  Syaikh al Jazuli mengungkapkan nasihat penting;
وَاِذَا رَئَيْتَ النَّفْسَ مِنْكَ تَحَكَّمَتْ وَغَدَتْ تَقُوْدُكَ فِيْ لَظَى الشَّهَوَاتِ
فَاصْرِفْ هَوَاهَا بِالصَّلَاةِ مُوَاضِبًا لَا سِيَمَّا بِدَلَائِلِ اْلخَيْرَاتِ
Melalui syair ini, Syaikh al Jazuli berpesan; ketika nyata dalam diri kita seonggok nafsu yang menggiring kita ke jurang syahwat dan pintu neraka, baiknya kita mengusir nafsu ini dengan memperbanyak selawat kepada rosulullah, di antaranya dengan selawat Dalail Khairat.
Wirid dalail khairat menjadi sentuhan penting untuk membina nafsu. Dan termasuk nafsu adalah gejolak cinta dunia. Dalail khariat hendak mengantarkan kita sampai pada zona ketulusan dalam memandang dan memperlakukan dunia. Dalail khairat juga ingin menjagai kita dari godaan syahwat duniawi, sehingga tak sedikitpun hati kita bergeming dari dzikrullah dan dzikrunnabi.
Dalail Khairat mewanti kita agar tak menjadi seperti dalam penggal nadzam Adzkiya’;
ومحب الدنيا قائل اين الطريق اين الخلاص كمشكرشرب الطلا
Dalail Khairat menjagai kita agar tak berbuat tindakan bodoh pecinta dunia yang dalam keadaan seperti orang mabuk yang sekonyong-konyong berkata “di manakah al thoriq (thariqah menuju ridhallah)?”. Adakah yang keluar dari mulut seorang yang tengah mabuk kecuali omong kosong, igauan, tanpa maksud, tak berdasar, tanpa keyakinan. Dalail Khairat adalah madrasah agar kita tak menjadi bodoh karena cinta dunia, sebodoh pemabuk yang mengigau pertanyaan tentang ikhlas.
Teruntuk para mutasabbib, Dalail Khairat adalah sebentuk proses tarbiyah (pendidikan, gemblengan) yang membangun berbagai ranah jiwa. Pertama, tarbiyatul yaqin, menggembleng keyakinan kepada Allah. Ketika seorang mutasabbib bekerja atau mengupayakan sesuatu melalui proses dhohir, mendapatkan rejeki, keberuntungan, maka wirid Dalail Khairat adalah pengingat bahwa rejeki dan apapun yang diperolehnya adalah fadhal dari Allah.
Imam Muhammad Al Muhdi dalam “Mathali’ul Musirrot”, syarh Dalail Khairat karyanya, mengutip Al Hafidz Jalal Al Shuyuthi saat mengomentari hadits selawat pembuka pintu rejeki;
مَنْ عَسُرَتْ عَلَيْهِ حَاجَةٌ فَلْيُكْثِرْ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيَّ فَإِنَّهَا تُحِلُّ الْعَقْدَ وَتُكْشِفُ اْلهُمَّ وَاْلحَزْنَ وَتُكْثِرُ اْلأرْزَاقَ
 Maksud dari hadits ini, menurut Al Shuyuthi, bahwa selawat kita atas nabi adalah sabab (faktor) dibukakannya pintu rejeki dan semua hajat yang disebutkan dalam hadits tersebut. Sedangkan terwujudnya berbagai hajat ini murni atas izin, kuasa, kehendak dan fadhal dari Allah.
Bagi mutasabbib, pemahaman ini penting ditanamkan sebagai pondasi keyakinan dalam mengkombinasi lakon kreatifitas bekerja dan keyakinan tauhid. Manusia berusaha sebagai sebentuk ikhtiyar dan kepatuhan, dan, Allah yang menentukan. Buah dari keyakinan ini adalah tawadhu’, memahami dan meyakini bahwa apa yang dicapainya adalah kemurahan dan fadhal Allah, sehingga tidak ada alasan untuk takabbur, pun tidak ada alasan untuk tidak bersyukur.
Kedua, tarbiyah tawakkal. Selawat Dalail Khairat, pun selawat pada umumnya, adalah jembatan spiritual untuk memaknai dunia asbab dan segala pernik kreatifitas kita dengan ruh tawakkal. Kepasrahan adalah modal penting untuk sampai pada keyakinan atas Dzat yang Maha Meliputi. Buah dari kepasrahan ini adalah husudzon kepada Allah, bahwa Allah adalah satu-satunya Yang Berkehendak, bahwa Allah menganugerah yang terbaik untuk tiap hamba. Kepasrahan yang mematikan segala kehendak diri seorang hamba. Apa yang dijalani adalah semata bentuk kepatuhan pada kehendak Allah. Jika telah sampai pada kualitas tawakkal yang demikian, tanda bahwa Allah menganugerahkan kita “derajat tajrid” dan bukan hanya “kelas tajrid”.
Perbedaan tipis antara maqam asbab dan maqam tajrid di ranah batin adalah kepasrahan, hal yang sifatnya sangat bathiniyyah. Tidak adil jika mengukur asbab dari segi ruang dan atau aktifitasnya, dari segi yang dhahir. Maka lebih tidak adil jika sesama hamba mengkategori yang ini yang asbab dan itu tajrid. Hak sepenuhnya untuk menempatkan, menilai dan membalas karya kita di maqam asbab atau tajrid ada di kuasa dan kehendak Allah.
Maka menarik seruan penggal redaksi niat selawat Dalail Khairat,
اَللَّهُمَّ اِنِّيْ أَبْرَءُ اِلَيْكَ مِنْ حَوْلِي وَقُوَّتِي اِلَى حَوْلِكَ وَقُوَّتِكَ
Ya Allah, sungguh aku mengibra’kan, menyerahkan dan pasrah seutuhnya; kemampuan dan kekuatanku pada sempurnanya kekuatanMu.
Do’a niat selawat Dalail Khairat ini meniupkan ruh kepasrahan yang puncak, kepasrahan yang menihilkan setitikpun kemampuan dan kehendak hamba kepada Kemahakuasaan Allah. Do’a niat ini adalah penggal pengakuan kedhaifan hamba sekaligus ikrar persaksian atas Kemahasegalaan Allah. Dalam kata lain, niat Dalail Khairat ini menyeru kita untuk menata ketulusan batin untuk sampai pada kualitas ketulusan tajrid.
Dikuatkan dengan munajat Syaikh al Jazuli pada wirid hari sabtu;
يَا مَنْ قََالَ وَقَوْلُهُ الْحَقُّ: وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ, وَلَا يَصْدُرُ عَنْ اَحَدٍ مِنْ عَبِيْدِهِ قَوْلٌ وَلَا فِعْلٌ وَلَا حَرَكَةٌ وَلَاسُكُوْنٌ اِلَّا وَقَدْ سَبَقَ فِيْ عِلْمِهِ وَقَضَائِهِ وَقَدْرِهِ كَيْفَ يَكُوْنُ
Wahai Dzat yang Maha berfirman dan Dzat yang firmanNya haq; Dan Allah yang telah menciptakanmu dan segala yang engkau perbuat (QS. As Shoffat:96). Dan tidaklah tercipta ungkapan dari seorang hamba, tidak pula satu perbuatan, gerak, diam, kecuali telah ada dalam ilmu Allah, qadha’ dan qadarNya, seperti apa perangai seorang hamba.
Munajat ini sengaja diungkapkan Syaikh Al Jazuli di permulaan penggal do’annya sebelum mendo’a agar Allah berkenan menganugerahkan syafaat untuknya dan semua orang yang cinta dan meneladani rosulullah.
Syaikh Al Jazuli hendak mengingatkan kita untuk terus mengamini dan mengimani makna kedhaifan hamba, tak terkecuali Syaikh Al Jazuli. Beliau mengajarkan bagaimana sejatinya tajrid adalah meniadakan diri, pasrah dengan kedhaifan diri, sebagaimana tanpa secuilpun rasa malu, di kelanjutan penggal do’a ini Syaikh Al Jazuli mengakui, jika bukan karena qadha’ Allah agar ia menulis kumpulan selawat, kitab bernama Dala’il al Khairat ini tidak akan pernah ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar