PENGARUH ETIKA KERJA DAN KOMUNIKASI KERJA ISLAMI TERHADAP
KINERJA KARYAWAN DI LINGKUNGAN PERUSAHAAN BADAN USAHA YAYASAN ARWANIYYAH (BUYA)
A. PENDAHULUAN
Runtuhnya korporasi besar seperti:
Enron, Arthur Anderson, Worldcom, Global Crossing karena mega skandal menjadikan
etika kerja mendapat perhatian yang sangat besar. Hal ini menunjukkan bahwa
sehebat dan seprofesional apapun pengelolaan perusahaan jika tidak dilandasi
dengan etika kerja yang baik maka akan terjadi manipulasi yang berakibat pada
kebangkrutan. Sehingga sekolah-sekolah ternama dalam bidang bisnis seperti: Harvard
Business School (HBS) memasukkan mata kuliah etika kerja di dalam
kurikulumnya.
Tidak seperti etika kerja Kristen,
etika kerja Islam telah disalahpahami dan dilupakan dalam kajian ilmu organisasi
dan manajemen. Ini disebabkan para ahli manajemen tidak menggali kekayaan
literatur dalam Islam yang terkait dengan bisnis dan organisasi[1].
Hal ini ditunjukkan dari berbagai literatur dan penelitian etika kerja
yang berkembang masih dominasi peneliti-peneliti barat yang notabene
berdasarkan pada etika Kristen Protestan[2].
Konsep etika kerja Protestan pertama di kembangkan oleh Max Weber dalam buku
yang berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam
buku ini Weber mengaitkan antara kesuksesan sistem kapitalis dengan ajaran
Protestan.
Islam sebagai agama yang mengatur
segala aspek kehidupan manusia, memiliki konsep yang mengatur tentang etika
dalam bekerja yang berdasarkan pada Alqur’an dan Hadist. Namun belum banyak
dilakukan penelitian tentang etika kerja Islam, sehingga konsep etika kerja
Islam kurang berkembang. Hanya ada beberapa riset tentang etika kerja Islam
seperti Ali (1988, 2001)[3],
Yousef (2000, 2001)[4], Rahman
dkk., (2006)[5], and Ali
and Al-Kazemi, (2007). Sebagai contoh, penelitian etika kerja Islam juga telah
dilakukan oleh Rahman dkk, (2006) di industri perbankan di Malaysia. Mereka
menguji pengaruh etika kerja pada tiga dimensi komitmen organisasi, hasilnya
menunjukkan bahwa etika kerja Islam berpengaruh ke semua dimensi komitmen
yaitu: affective, continuance dan normative.
Selain itu, manusia
diperintahkan untuk berperilaku sesuai dengan etika moral , guideline (petunjuk)
yang ada di dalam Al-Qur’an.[6]
Termasuk
di dalam bisnis pun juga harus memperhatikan etika sesuai dengan syari’at
Islam. Tidak seperti pandangan kaum liberalis yang beranggapan bahwa setiap
urusan bisnis tidak dikenal adanya etika sebagai kerangka acuan, sehingga dalam
pandangan mereka kegiatan bisnis adalah amoral[7],
mereka menganggap bisnis adalah bisnis tidak ada hubungannya dengan etika[8],
interpretasi hukum didalamnya didasarkan pada nilai-nilai standar kontemporer
yang seringkali berbeda-beda, sedangkan dalam masyarakat Islam nilai-nilai dan
standar tersebut dituntun oleh ajaran syari’at dan kumpulan fatwa fiqih[9].
Etika dibutuhkan
dalam bekerja ketika manusia mulai menyadari bahwa kemajuan dalam bidang bisnis
telah menyebabkan manusia semakin tersisih dari nilai-nilai kemanusiaan (humanistik),
dalam persaingan bisnis, perusahaan yang unggul bukan hanya perusahaan yang
memiliki kriteria bisnis yang baik, melainkan juga perusahaan mempunyai etika
bisnis yang baik.[10]
Tidak hanya
etika kerja yang baik, sebuah iklim kerja yang sehat juga membutuhkan
komunikasi kerja yang sehat. Komunikasi kerja islami sangat menentukan kualitas
kerja karyawan, baik dalam kapasitas meningkatkan pekerjaan maupun wawasan
kerja.
Seperti
dikatakan oleh Barnard (1985) “dalam teori organisasi yang lengkap, komunikasi
menduduki tempat sentral karena struktur luasnya dan lingkungan organisasi
hampir ditentukan oleh teknik
komunikasi. Adapun menurut Theodore Hwerbert dalam sutarto (1991) “Whithout
communication, no organization could long exist” yang artinya “tanpa
komunikasi, tak ada organisasi yang hidup panjang” sedangkan Keith Davis (1987)
berpendapat “Communication is defined as the procces of passing
information and understanding from one persen to another” yang artinya “
komunikasi sebagai proses penyampaian informasi dan pemahaman dari seseorang
kepada orang lain”. Menurut Carl I. Hovland dalam Sri Haryani (2001) bahwa
komunikasi adalah science of communication is a systematic attempt to
formulate in rigorous fashion the principles by which information is
transmitted and options and attitudes are formed, yang artinya ilmu komunikasi
merupakan suatu upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas
prinsip-prinsip tersebut disampaikan informasi serta dibentuk pendapat dan
sikap.[11]
Badan Usaha
Yayasan Arwaniyyah (BUYA) adalah badan usaha dengan berbagai varian unit usaha
yang sukses di pasaran karena di antaranya di dukung oleh etika kerja islami
dan komunikasi kerja islami yang baik. Penelitian ini berasumsi bahwa suksesi
di lingkungan kerja islami seperti BUYA sangat dipengaruhi oleh etika kerja
islami dan komunikasi kerja islami. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan
dan memaparkan korelasi antara ketiga variabel tersebut.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Mengidentifikasi karakteristik tingkat
etika kerja Islam karyawan yang bekerja di BUYA.
2.
Bagaimana
pengaruh Komunikasi kerja islami terhadap kinerja karyawan di BUYA?
3.
Bagaimana
pengaruh Etika Kerja Islam terhadap kinerja karyawan di BUYA ?
C. TUJUAN
DAN MANFAAT PENELITIAN
1.
Untuk mengetahui
bagaimana pengaruh komunikasi terhadap kinerja
karyawan di BUYA.
2.
Untuk mengetahui
bagaimana pengaruh etika kerja Islam terhadap
kinerja karyawan di BUYA.
3. Memberikan masukan bagi para praktisi terutama pengelola usaha di bawah naungan yayasan
keislaman untuk lebih meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di
lingkungan kerjanya. Serta memberikan pengetahuan kepada pengelola dan
manajer tentang tingkat etika kerja Islam, sehingga dapat menjadi pertimbangan
para manajer untuk memberikan pelatihan atau pendidikan lebih di bidang etika
kerja Islam.
D. KAJIAN
PUSTAKA
1. Landasan
Teori
a.
Komunikasi
Kerja Islami
Kata
komunikasi berasal dari bahasa latin “communicatun”atau communication
atau communicare yang berarti “berbagi” atau “menjadi milik
bersama”. Dengan demikian, kata komunikasi menurut kamus bahasa mengacu pada
suatu upaya yang bertujuan untuk
mencapai
kebersamaan.[12]
Komunikasi
secara terminologis merujuk pada adanya proses penyampaian suatu pernyataan
oleh seseorang kepada orang lain. Jadi dalam pengertian ini yang terlibat dalam
komunikasi adalah manusia. Karena itu merujuk pada pengertian Ruben dan
Steward(1998:16) mengenai komunikasi manusia yaitu: ”Human communication is
the process through which individuals –in relationships, group, organizations
and societies—respond to and create messages to adapt to the environment and
one another”. Bahwa komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu
dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespon dan
menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain.
Untuk
memahami pengertian komunikasi tersebut sehingga dapat dilancarkan secara
efektif dalam Effendy (1994:10) bahwa para peminat komunikasi sering kali
mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell dalam karyanya, The
Structure and Function of Communication in Society. Lasswell mengatakan
bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan
sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?
Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur
sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu,yaitu:
1) Komunikator
(siapa yang mengatakan?)
2) Pesan
(mengatakan apa?)
3) Media
(melalui saluran/ channel/media apa?)
4) Komunikan
(kepada siapa?)
5) Efek
(dengan dampak/efek apa?).
Jadi
berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, secara sederhana proses komunikasi
adalah pihak komunikator membentuk (encode) pesan dan menyampaikannya
melalui suatu saluran tertentu kepada pihak penerima yang menimbulkan efek
tertentu.[13]
Jadi
Komunikasi merupakan suatu aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi,
manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam masyarakat atau
dimanapun saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat dalam
komunikasi.[14]
Dengan komunikasi maksud / misi komunikator
diharapkan diterima oleh komunikan sehingga ada tanggapan / timbal balik. Seperti
dikatakan oleh Barnard (1985) “dalam teori organisasi yang lengkap, komunikasi
menduduki tempat sentral karena struktur luasnya dan lingkungan organisasi
hampir ditentukan oleh teknik komunikasi.
Adapun menurut Theodore Hwerbert dalam sutarto (1991) “Whithout
communication, no organization could long exist” yang artinya “tanpa
komunikasi, tak ada organisasi yang hidup panjang” sedangkan Keith Davis (1987)
berpendapat “Communication is defined as the procces of passing
information and understanding from one persen to another” yang artinya “
komunikasi sebagai proses penyampaian informasi dan pemahaman dari seseorang
kepada orang lain”. Menurut Carl I. Hovland dalam Sri Haryani (2001) bahwa komunikasi
adalah science of communication is a systematic attempt to formulate in
rigorous fashion the principles by which information is transmitted and options
and attitudes are formed, yang artinya ilmu komunikasi merupakan suatu
upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas prinsip-prinsip tersebut
disampaikan informasi serta dibentuk pendapat dan sikap.[15]
Bertitik
tolak dari pendapat-pendapat diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
komunikasi adalah sejauh mana informasi (Ide, Gagasan, Laporan, intruksi, dan
pengetahuan) yang menentukan jumlah umpan balik yang diterima dan dipahami oleh
karyawan. Oleh karena itu dalam mengukur komunikasi dapat digunakan
indikasi-indikasi sebagai berikut:
a)
Frekuensi
pemberian informasi, pengetahuan dan gagasan.
Komunikasi
memandang frekuensi pemberian informasi, pengetahuan dan gagasan adalah
sebagian dari hak-hak karyawan untuk mendapatkan informasi pengetahuan tentang
kerjaan apa yang akan dilakukan karyawan dari pimpinan demi terciptanya kinerja
yang efektif
b)
Tingkat
keaktifan memberikan bimbingan dan penyuluhan
Komunikasi
memandang tingkat keaktifan memberikan bimbingan dan penyuluhan adalah Bagaimana
perusahaan memberikan penyuluhan dan bimbingan terhadap karyawan supaya
karyawan tersebut bisa lebih produktif dalam kinerjanya.
c)
Tingkat
keaktifan Pengurus terhadap saran dan usul
Tingkat
keaktifan pengurus terhadap saran dan usul adalah untuk mengaktifkan suatu transparansi
antara pengurus satu dengan yang lainnya supaya bisa berbagi dan tukar pendapat
tentang informasi penting dengan seluruh anggota untuk bagaimana memajukan
perusahaan.
d)
Tingkat
keaktifan pemantauan dari Pengurus Badan Usaha
Tingkat
keaktifan pemantauan ditekankan untuk mengawasi jalannya operasionalisasi bank
sehari-hari, agar sesuai dengan ketentuan syari’ah dan juga meneliti dan merekomendasi
produk baru.
b.
Etika Kerja
Islam
Etika
berasal dari bahasa Yunani, ethikos yang mempunyai beragam arti; pertama,
sebagai analisis konsep-konsep mengenai apa yang harus, mesti, tugas,
aturan-aturan moral, benar-salah, wajib, tanggung jawab, dan lain-lain. Kedua,
pencarian ke dalam watakmoralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga,
pencarian kehidupan yang baik secara moral.[16]
Menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia.[17]
Etika
pada umumnya didefinisikan sebagai suatu usaha yang sistematis dengan
menggunakan rasio untuk menafsirkan pengalaman moral individual dan sosial
sehingga, dapat menetapkan aturan untuk mengendalikan perilaku manusia serta nilai-nilai
yang berbobot untuk dapat dijadikan sasaran dalam hidup.[18]
Menurut
Hamzah Ya’kub, Etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang
buruk dan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui
oleh akal pikiran. Menurut Herman Soewardi, Etika dapat dijelaskan dengan
membedakan dengan tiga arti, yaitu (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang
buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), (2) kumpulan asas atau
nilai yang berkenaan dengan akhlak, (3) nilai mengenai benar dan salah yang
dianut suatu golongan atau masyarakat.[19]
Etika
menurut Frans Magins Suseno merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran-ajaran
moral, yang bersifat rasional, kritis, sistematis, mendasar dan normatif.
Berarti tidak sekedar melaporkan pandangan-pandangan moral, melainkan
menyelidiki pandangan moral yang seharusnya.[20]
Triyuwono
mengemukakan etika terekspresikan dalam bentuk Syari’ah, yang terdiri dari Al
Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Didasarkan pada sifat keadilan, Etika Syari’ah
bagi umat Islam berfungsi sebagai sumber untuk membedakan mana yang benar (haq)
dan yang buruk (bathil). Dengan menggunakan Syari’ah, bukan hanya membawa
individu lebih dekat dengan Tuhan, tetapi juga memfasilitasi terbentuknya
masyarakat secara adil yang di dalamnya tercakup individu dimana mampu
merealisasikan potensinya dan kesejahteraan yang diperuntukkan bagi semua umat.[21] Etika
merupakan alasan-alasan rasional tentang semua tindakan manusia dalam semua
aspek kehidupannya. Sementara itu etika kerja Islam muncul ke permukaan, dengan
landasan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Islam merupakan kumpulan
aturan-aturan ajaran (doktrin) dan nilai-nilai yang dapat menghantarkan manusia
dalam kehidupannya menuju tujuan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di
akhirat.[22]
Etika
juga termasuk bidang ilmu yang bersifat normatif, karena berperan menentukan
apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh seorang individu.[23] Etika
adalah seperangkat nilai tentang baik, buruk, benar dan salah yang berdasarkan
prinsip-prinsip moralitas, khususnya dalam perilaku dan tindakan. Sehingga
Etika adalah salah satu faktor penting bagi terciptanya kondisi kehidupan
manusia yang lebih baik.[24]
Menurut
Imam Ghozali dalam bukunya Ihya’ Ulumuddin mendefinisikan etika sebagai sifat
yang tetap dalam jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan
mudah dan tidak membutuhkan pikiran.[25] Dari
beberapa pengertian di atas, definisi operasional etika adalah sebagai alat
yang digunakan untuk menilai (mengukur) baik atau buruk suatu tindakan yang
dilakukan seseorang, berdasarkan akal pikiran (rasional). Etika yang Islami
tidak hanya menggunakan rasio dalam menilai perbuatan, tetapi juga didasarkan
pada Al-Qur’an dan Hadits. Sehingga tindakan yang dinilai Etika Islam adalah
berdasarkan akal pikiran yang sesuai dengan ajaran Syari’at Islam.
Etika
kerja yang Islami adalah serangkaian aktiviatas bisnis dalam berbagai bentuknya
yang tidak dibatasi jumlah kepemilikan hartanya (barang/jasa), namun dibatasi
dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan hartanya karena aturan halal dan
haram.[26]
Etika
kerja dalam Syari’at Islam adalah akhlak dalam menjalankan bisnis sesuai dengan
nilai-nilai Islam, sehingga dalam melaksanakan bisnisnya tidak perlu
adakehawatiran, sebab sudah diyakini sebagai suatu yang baik dan benar.[27]
Dalam
penelitian ini penulis menggunakan teori etika kerja Islam yang dikemukakan
oleh Dr. Mustaq Ahmad, yang mengatakan bahwa seorang pelaku bisnis diharuskan
untuk berperilaku dalam bisnis mereka sesuai dengan apa yang dianjurkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah.[28]
Masalah
etos kerja memang cukup rumit. Nampaknya tidak ada teori tunggal yang dapat
menerangkan segala segi gejalanya, juga bagaimana menumbuhkan dari yang lemah
ke arah yang lebih kuat atau lebih baik. Kadang-kadang nampak bahwa etos kerja
dipengaruhi oleh sistem kepercayaan, seperti agama, kadang-kadang nampak
seperti tidak lebih dari hasil tingkat perkembangan ekonomi tertentu masyarakat
saja.
Salah
satu teori yang relevan untuk dicermati adalah bahwa etos kerja terkait dengan
sistem kepercayaan yang diperoleh karena pengamatan bahwa masyarakat
tertentu–dengan sistem kepercayaan tertentu–memiliki etos kerja lebih baik
(atau lebih buruk) dari masyarakat lain–dengan sistem kepercayaan lain.
Misalnya, yang paling terkenal ialah pengamatan seorang sosiolog, Max Weber,
terhadap masyarakat Protestan aliran Calvinisme, yang kemudian dia angkat
menjadi dasar apa yang terkenal dengan “Etika Protestan”.[29]
Para
peneliti lain – mengikuti cara pandang Weber – juga melihat gejala yang sama
pada masyarakat-masyarakat dengan sistem-sistem kepercayaan yang berbeda,
seperti masyarakat Tokugawa di Jepang (oleh Robert N. Bellah), Santri di Jawa
(oleh Geertz) dan Hindu Brahmana di Bali (juga oleh Geertz), Jainisme dan Kaum
Farsi di India, kaum Bazari di Iran, dan seorang peneliti mengamati hal yang
serupa untuk kaum Isma’ili di Afrika Timur, dan sebagainya. Semua tesis
tersebut bertitik tolak dari sudut pandang nilai, atau dalam bahasa agama
bertitik tolak dari keimanan atau budaya mereka masing-masing.[30]
Kesan
bahwa etos kerja terkait dengan tingkat perkembangan ekonomi tertentu, juga
merupakan hasil pengamatan terhadap masyarakat-masyarakat tertentu yang etos
kerjanya menjadi baik setelah mencapai kemajuan ekonomi tertentu, seperti
umumnya negara-negara Industri Baru di Asia Timur, yaitu Korea Selatan, Taiwan,
Hongkong dan Singapura. Kenyataan bahwa Singapura, misalnya, menunjukkan
peningkatan etos kerja warga negaranya setelah mencapai tingkat perkembangan
ekonomi yang cukup tinggi. Peningkatan etos kerja di sana kemudian mendorong
laju perkembangan yang lebih cepat lagi sehingga negara kota itu menjadi
seperti sekarang.[31]
Pada
dekade tahun 80-an, di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia pun tumbuh minat
yang cukup besar untuk membuktikan kebenaran tesis Weber di atas. Bahkan pada
waktu itu pernah muncul suatu gagasan untuk membangun suatu system teologi yang
dapat mendorong keberhasilan proses pembangunan di Indonesia. Pada saat itu
suatu gagasan yang disebut dengan “Teologi Pembangunan”, bahkan di Kaliurang
Yogyakarta, pernah diadakan seminar tenatang Teologi Pembangunan ini.
Gagasan
tentang Teologi Pembangunan ini dilandasi oleh asumsi-asumsi: (1) sistem
teologi yang dianut oleh umat Islam Indonesia belum mampu mendorong dan
membangkitkan etos kerja yang tinggi; (2) umat Islam Indonesia mudah sekali
menyerah ketika mengalami suatu kegagalan; (3) umat Islam Indonesia bersifat
pasif, fatalis dan deterministik; serta asumsi-asumsi lainnya.[32]
Namun,
karena masalah teologi sangat sensitif, akhirnya gagasan-gagasan yang pernah
dicetuskan itu berakhir dengan tanpa memperoleh rumusan yang jelas dan
sistematis. Kalau kita mau mencermati dan mengkaji makna-makna yang terkandung
dalam al-Quran dan Alsunnah, maka kita akan menemukan banyak sekali bukti,
bahwa sesunguhnya ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk bekerja keras,
dan bahwa ajaran Islam memuat spirit dan dorongan pada tumbuhnya budaya dan
etos kerja yang tinggi. Kalau pada tataran praktis, umat Islam seolah-olah
beretos kerja rendah, maka bukan sistem teologi yang harus dirombak, melainkan
harus diupayakan bagaimana cara dan metode untuk memberikan pengertian dan pemahaman
yang benar mengenai watak dan karakter esensial dari ajaran Islam yang
sesungguhnya.
Naqvi (1981) dikutip Toto Tasmara[33]
menjelaskan ada lima aksioma yang mendasari etika kerja Islam yaitu: pertama, unity
(kesatuan), konsep ini terkait dengan konsep keesaan Allah (tauhid) sebagai
bentuk hubungan vertikal antara manusia dan tuhannya. Sebagai seorang Muslim
harus melihat bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah milik Allah dan
akan dikembalikan padaNya. Kedua, equilibrium (keseimbangan), konsep ini
terkait dengan konsep adl (keadilan dan kepemilikan). Ketiga, free
will (kebebasan berkehendak) setiap orang diberi kebebasan untuk
mengerjakan sesuai dengan keinginannya sampai pada tingkatan tertentu, tetapi
kebebasan itu harus disertai dengan tanggung jawab kepada allah dan kepada
sesama. Karena Allah tidak mengubah nasib seseorang sampai dia merubahnya
sendiri. Keempat, tanggung jawab (responsibility), ini terkait dengan
pertanggungjawaban seseorang terhadap segala tindakan yang dilakuan baik yang terkait
dengan yang berhubungan dengan manusia maupun dengan Allah. Kelima, kebajikan (benevolence),
setiap muslim didorong untuk bermal kebajikan sesuai dengan kemampuannya tanpa
mengharapkan timbal balik dari apa yang telah dilakunnya (Beekum, 1997).
Menurut Ali (2005) sebagaimana dikutip Tohir Luth[34] ada empat
pilar utama dalam konsep etika kerja Islam yaitu:
1. Berusaha (effort), seorang muslim diwajibkan untuk
berusaha dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya, keluarga dan masyarakat.
Islam sangat menjunjung tinggi produktifitas kerja karena akan meminimalisir
berbagai permasalahan sosial dan ekonomi.
2. Persaingan (competition), seorang pekerja harus
mampu bersaing dengan karyawan lain secara fair dan jujur dengan niat fastabiqul
koirat (berlomba untuk mencapai kebajikan).
3. Keterbukaan (transparancy), keterbukaan terhadap
berbagai kegiatan yang ada dalam organisasi.
4. Moralitas (Morality), segala bentuk kegiatan harus
berdasarkan etika islam, karena agama islam tidak mengenal dikotomis
antara urusan keduniaan dan agama.
Membicarakan
etos kerja dalam Islam, berarti menggunakan dasar pemikiran bahwa Islam,
sebagai suatu sistem keimanan, tentunya mempunyai pandangan tertentu yang
positif terhadap masalah etos kerja.[35]
Adanya etos kerja yang kuat memerlukan kesadaran pada orang bersangkutan
tentang kaitan suatu kerja dengan pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh,
yang pandangan hidup itu memberinya keinsafan akan makna dan tujuan hidupnya.
Dengan kata lain, seseorang agaknya akan sulit melakukan suatu pekerjaan dengan
tekun jika pekerjaan itu tidak bermakna baginya, dan tidak bersangkutan dengan
tujuan hidupnya yang lebih tinggi, langsung ataupun tidak langsung.
Menurut
Nurcholish Madjid, etos kerja dalam Islam adalah hasil suatu kepercayaan
seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu
memperoleh perkenan Allah swt. Berkaitan dengan ini, penting untuk ditegaskan
bahwa pada dasarnya, Islam adalah agama amal atau kerja (praxis).[36]
Inti ajarannya ialah bahwa hamba mendekati dan berusaha memperoleh ridha Allah
melalui kerja atau amal saleh, dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya
kepada-Nya[37].
Toto
Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim, menyatakan bahwa
“bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan
mengerahkan seluruh asset, fakir dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau
menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan
menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khaira
ummah), atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dengan bekerja manusia
itu memanusiakan dirinya.
Dalam
bentuk aksioma, Toto meringkasnya dalam bentuk sebuah rumusan:[38]
KHI
= T, AS (M, A, R, A)
KHI
= Kualitas Hidup Islami
T
= Tauhid
AS
= Amal Shaleh
M
= Motivasi
A
= Arah Tujuan (Aim and
Goal/Objectives)
R
= Rasa dan Rasio (Fikir dan Zikir)
A = Action, Actualization.
Dari
rumusan di atas, Toto mendefinisikan etos kerja dalam Islam (bagi kaum Muslim)
adalah: “Cara pandang yang diyakini seorang Muslim bahwa bekerja itu
bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga
sebagai suatu manifestasi dari amal shaleh dan oleh karenanya mempunyai nilai
ibadah yang sangat luhur.” [39]
Sementara
itu, Rahmawati Caco, berpendapat bahwa bagi orang yang beretos kerja Islami,
etos kerjanya terpancar dari sistem keimanan atau aqidah Islami berkenaan
dengan kerja yang bertolak dari ajaran wahyu bekerja sama dengan akal. Sistem
keimanan itu, menurutnya, identik dengan sikap hidup mendasar (aqidah
kerja). Ia menjadi sumber motivasi dan sumber nilai bagi terbentuknya etos
kerja Islami. Etos kerja Islami di sini digali dan dirumuskan berdasarkan
konsep iman dan amal shaleh, tanpa landasan iman dan amal shaleh, etos kerja
apa pun tidak dapat menjadi Islami. Tidak ada amal saleh tanpa iman dan iman
akan merupakan sesuatu yang mandul bila tidak melahirkan amal shaleh.
Kesemuanya itu mengisyaratkan bahwa iman dan amal shaleh merupakan suatu
rangkaian yang terkait erat, bahkan tidak terpisahkan.[40]
Dari
beberapa pendapat tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa etos kerja dalam
Islam terkait erat dengan nilai-nilai (values) yang terkandung dalam
dan Alsunnah tentang “kerja” – yang dijadikan sumber inspirasi dan
motivasi oleh setiap Muslim untuk melakukan aktivitas kerja di berbagai bidang
kehidupan. Cara mereka memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai
dan Alsunnah tentang dorongan untuk bekerja itulah yang membentuk etos kerja
Islam.
Prinsip-prinsip Dasar Etos Kerja dalam Islam
Sebagai
agama yang menekankan arti penting amal dan kerja, Islam mengajarkan bahwa
kerja itu harus dilaksanakan berdasarkan beberapa prinsip berikut:
1) Bahwa perkerjaan itu dilakukan
berdasarkan pengetahuan sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah dalam
Alquran, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan mengenainya.”(Q.S, 17: 36).
2) Pekerjaan harus dilaksanakan
berdasarkan keahlian sebagaimana dapat dipahami dari hadis Nabi saw, “Apabila
suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”
(Hadis Shahih riwayat al-Bukhari).
3) Berorientasi kepada mutu dan hasil
yang baik sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah, “Dialah Tuhan yang
telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa di antara kalian yang
dapat melakukan amal (pekerjaan) yang terbaik; kamu akan dikembalikan kepada
Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitahukan
kepadamu tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mulk: 67: 2).
Dalam Islam, amal atau kerja itu juga harus dilakukan dalam bentuk saleh
sehingga dikatakan amal saleh, yang secara harfiah berarti sesuai, yaitu sesuai
dengan standar mutu.
4) Pekerjaan itu diawasi oleh Allah,
Rasul dan masyarakat, oleh karena itu harus dilaksanakan dengan penuh tanggung
jawab, sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah, “Katakanlah: Bekerjalah
kamu, maka Allah, Rasul dan orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu.”(Q.S.
9: 105).
5) Pekerjaan dilakukan dengan semangat
dan etos kerja yang tinggi. Pekerja keras dengan etos yang tinggi itu
digambarkan oleh sebuah hadis sebagai orang yang tetap menaburkan benih
sekalipun hari telah akan kiamat.[41]
6) Orang berhak mendapatkan imbalan
atas apa yang telah ia kerjakan. Ini adalah konsep pokok dalam agama. Konsep
imbalan bukan hanya berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan dunia, tetapi juga
berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan ibadah yang bersifat ukhrawi. Di dalam
Alquran ditegaskan bahwa: “Allah membalas orang-orang yang melakukan sesuatu
yang buruk dengan imbalan setimpal dan memberi imbalan kepada orang-orang yang
berbuat baik dengan kebaika.”(Q.S. 53: 31). Dalam hadis Nabi dikatakan, “Sesuatu
yang paling berhak untuk kamu ambil imbalan atasnya adalah Kitab Allah.” (H.R.
al-Bukhari). Jadi, menerima imbalan atas jasa yang diberikan dalam kaitan
dengan Kitab Allah; berupa mengajarkannya, menyebarkannya, dan melakukan
pengkajian terhadapnya, tidaklah bertentangan dengan semangat keikhlasan dalam
agama.
7) Berusaha menangkap makna
sedalam-dalamnya sabda Nabi yang amat terkenal bahwa nilai setiap bentuk kerja
itu tergantung kepada niat-niat yang dipunyai pelakunya: jika tujuannya tinggi
(seperti tujuan mencapai riza Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja
yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti, hanya bertujuan memperoleh
simpati sesama manusia belaka), maka setingkat itu pulalah nilai kerjanya
tersebut.[42] Sabda
Nabi saw. itu menegaskan bahwa nilai kerja manusia tergantung kepada komitmen
yang mendasari kerja itu. Tinggi rendah nilai kerja itu diperoleh seseorang
sesuai dengan tinggi rendah nilai komitmen yang dimilikinya. Dan komitmen atau
niat adalah suatu bentuk pilihan dan keputusan pribadi yang dikaitkan dengan
sistem nilai yang dianutnya. Oleh karena itu, komitmen atau niat juga berfungsi
sebagai sumber dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan
sesuatu, atau, jika ia mengerjakannya dengan tingkat-tingkat kesungguhan
tertentu.
8) Ajaran Islam menunjukkan bahwa
“kerja” atau “amal” adalah bentuk keberadaan manusia. Artinya, manusia ada
karena kerja, dan kerja itulah yang membuat atau mengisi keberadaan
kemanusiaan. Jika filsuf Perancis, Rene Descartes, terkenal dengan ucapannya,
“Aku berpikir maka aku ada” (Cogito ergo sum) – karena berpikir baginya
bentuk wujud manusia – maka sesungguhnya, dalam ajaran Islam, ungkapan itu
seharusnya berbunyi “Aku berbuat, maka aku ada.”[43] Pandangan ini sentral sekali dalam sistem
ajaran Islam. Ditegaskan bahwa manusia tidak akan mendapatkan sesuatu apa pun
kecuali yang ia usahakan sendiri:
“Belumkah ia (manusia) diberitahu tentang apa yang ada dalam
lembaran-lembaran suci (Nabi (Musa)? Dan Nabi Ibrahim yang setia? Yaitu bahwa
seseorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain. Dan bahwa
tidaklah bagi manusia itu melainkan apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya
itu akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian ia akan dibalas dengan balasan
yang setimpal. Dan bahwa kepada Tuhan-mulah tujuan yang penghabisan”.[44]
Itulah
yang dimaksudkan dengan ungkapan bahwa, kerja adalah bentuk eksistensi manusia.
Yaitu bahwa harga manusia, yakni apa yang dimilikinya – tidak lain ialah amal
perbuatan atau kerjanya itu. Manusia ada karena amalnya, dengan amalnya yang
baik itu manusia mampu mencapai harkat yang setinggi-tingginya, yaitu bertemu
Tuhan dengan penuh keridlaan.
“Barang siapa benar-benar mengharap bertemu Tuhannya,
maka hendaknya ia berbuat baik, dan hendaknya dalam beribadat kepada Tuhannya
itu ia tidak melakukan syirik,” [45](yakni,
mengalihkan tujuan pekerjaan selain kepada Allah, Sang Maha Benar, al-Haqq, yang
menjadi sumber nilai terdalam pekerjaan manusia).
Dari
prinsip-prinsip dasar di atas, penting
juga dirumuskan ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja
Islam, hal itu akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan
pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu merupakan bentuk
ibadah, suatu panggilan dan perintah Allah yang akan memuliakan dirinya,
memanusiakan dirinya sebagai bagian dari manusia pilihan (khaira ummah),
Toto Tasmara merinci ciri-ciri etos kerja Muslim, sebagai berikut: (1) Memiliki
jiwa kepemimpinan (leadhership); (2) Selalu berhitung; (3) Menghargai
waktu; (4) Tidak pernah merasa puas berbuat kebaikan (positive improvements);
(5) Hidup berhemat dan efisien; (6) Memiliki jiwa wiraswasta (entrepreneurship);
(7) Memiliki insting bersaing dan bertanding; (8) Keinginan untuk mandiri (independent);
(9) Haus untuk memiliki sifat keilmuan; (10) Berwawasan makro (universal);
(11) Memperhatikan kesehatan dan gizi; (12) Ulet, pantang menyerah; (13)
Berorientasi pada produktivitas; dan (14) Memperkaya jaringan silaturrahim.[46]
Adapun
indikasi-indikasi orang atau sekelompok masyarakat yang beretos kerja tinggi,
menurut Gunnar Myrdal dalam bukunya Asian Drama, ada tiga belas
sikap yang menandai hal itu: (1) Efisien; (2) Rajin; (3) Teratur; (4)
Disiplin atau tepat waktu; (5) Hemat; (6) Jujur dan teliti; (7) Rasional dalam
mengambil keputusan dan tindakan; (8) Bersedia menerima perubahan; (9) Gesit
dalam memanfaatkan kesempatan; (10) Energik; (11) Ketulusan dan percaya diri;
(12) Mampu bekerja sama; dan, (13) mempunyai visi yang jauh ke depan.[47]
Menurut
Sarsono, Konfusionisme memiliki konsep tersendiri berkenaan dengan
orang-orang yang aktif bekerja, yang ciri-cirinya antara lain (1) Etos kerja
dan disiplin pribadi; (2) Kesadaran terhadap hierarki dan ketaatan; (3)
Penghargaan pada keahlian; (4) Hubungan keluarga yang kuat; (5) Hemat dan hidup
sederhana; (6) Kesediaan menyesuaikan diri.[48]
Beberapa
indikasi dan ciri-ciri dari etos kerja yang terefleksikan dari
pendapat-pendapat tersebut di atas, secara universal cukup menggambarkan
segi-segi etos kerja yang baik pada manusia, bersumber dari kualitas diri,
diwujudkan berdasarkan tata nilai sebagai etos kerja yang diimplementasikan
dalam aktivitas kerja.
c.
Kinerja Karyawan
Istilah
kinerja berasal dari kata job performance dan actual performance yang
berarti prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang.55
Kinerja
dapat diartikan sebagai hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau
sekelompok orang dalam organisasi, sesuai wewenang dan tanggung jawab
masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara
legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.[49]
Byars
(1984), mengartikan kinerja sebagai hasil dari usaha seseorang yang dicapai
dengan adanya kemampuan dan perbuatan dalam situasi tertentu. Jadi bisa
dikatakan prestasi kerja merupakan hasil keterikatan antara usaha, kemampuan
dan persepsi tugas. Usaha merupakan hasil motivasi yang menunjukkan jumlah
energi (fisik atau mental) yang digunakan oleh individu dalam menjalankan suatu
tugas.[50]
Robbins
(1996), mengatakan kinerja merupakan suatu hasil yang dicapai oleh pekerja
dalam pekerjaannya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu
pekerjaan. Menurut Bacal (1999) mendefinisikan dengan proses komunikasi yang berkesinambungan
dan dilakukan dalam kemitraan antara seorang karyawan dan atasan langsungnya.[51]
Kinerja
diukur dengan instrumen yang dikembangkan dalam studi yang tergabung dalam
ukuran kinerja secara umum, kemudian diterjemahkan ke dalam penilaian perilaku
secara mendasar, meliputi:[52]
1) Kuantitas
kerja, yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang telah
ditentukan.
2) Kualitas
kerja, yaitu kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syaratsyarat kesesuaian
dan kesiapannya
3) Pengetahuan
tentang pekerjaan, yaitu luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan
ketrampilan.
4) Pendapat
atau pernyataan yang disampaikan, yaitu keaktifan menyampaikan pendapat di
dalam rapat.
5) Perencanaan
kerja, yaitu kegiatan yang dirancang sebelum melaksanakan aktifitas pekerjaannya.
2. Penelitian Terdahulu
Penelitian
Sri Widodo yang berjudul “Pengaruh Komunikasi Dan Partisipasi Anggota
Terhadap Keberhasilan Koperasi Unit Desa Mlati” menyatakan bahwa komunikasi
ber pengaruh terhadap kseberhasilan koperasi unit desa, semuanya terbukti
secara signifikan.
Penelitian
Neny Ayu Permatasari yang berjudul “Pengaruh Komunikasi Dalam Organisasi
Terhadap Kinerja Karyawan Melalui Kepuasan Kerja (Studi Kasus Pada Karyawan
Bagian Produksi Pabrik Kertas Cv Setia Kawan Tulungagung)”. Juga
menunjukkan adanya pengaruh yang segnifikan antara variabel-variabel yang
diteliti.
Penelitian
Rahman Eljunusi, SE., MM yang berjudul “Pengaruh Religiusitas, Etika Kerja
Islam Dan Individual Rank Terhadap Kinerja Lembaga Keuangan Syari’ah (Studi
Pada Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) Di Jawa Tengah)”. Menunjukkan etika kerja
berpengaruh segnefikan terhadap kinerja Lembaga Keuangan Syari’ah.
Penelitian
Ahmad Zainuri “Pengaruh Etika Kerja dan Kepemimpinan Islam Terhadap Kinerja
Karyawan” Studi Penelitian di KJKS/UJKS Wilayah Kabupaten Pati. Menunjukkan
bahwa etika kerja tidak berpengaruh terhadap kinerja karyawan[53].
Penelitian
Sri Wahyuni (2007) “pengaruh komitmen organisasi dan keterlibatan kerja
terhadap hubungan antara etika kerja Islam dengan sikap terhadap perubahan
organisasi” dengan menggunakan Uji Normalitas, Heteroskidastisitas,
menunjukkan diterimanya hipotesis-hipotesis yang diajukan.
Yang
membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yakni terdapat dua
variabel independen yaitu Kominikasi dan Etika Kerja Islam dan satu variabel
dependen yakni Kinerja Karyawan yang belum pernah diteliti sebelumnya.
E. KERANGKA BERPIKIR
Untuk
mengetahui masalah yang akan dibahas, perlu adanya kerangka pemikiran yang
merupakan landasan dalam meneliti masalah yang bertujuan untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu penelitian dan kerangka berpikir
dapat digambarkan sebagai berikut:
F. HIPOTESIS
Hipotesis
merupakan kesimpulan teoritis atau sementara dalam penelitian.
Dengan hipotesis,
penelitian menjadi jelas searah pengujiannya dengan kata lain hipotesis
membimbing peneliti dalam melaksanakan penelitian dilapangan baik sebagai objek
pengujian maupun dalam pengumpulan data[54].
Adapun Hipotesis dalam
penelitihan ini adalah:
1. Ada
pengaruh positif dan signifikan antara komunikasi terhadap kinerja karyawan
2. Ada
pengaruh positif dan signifikan antara etika kerja Islam terhadap kinerja karyawan
3. Ada
pengaruh positif dan signifikan antara komunikasi dan etika kerja Islam
terhadap kinerja karyawan.
G. METODE PENELITIAN
1.
Jenis dan Sumber
Data Penelitian
Dalam
penelitian ini penulis menggunakan penelitian kuantitatif, karena data yang
diperoleh nantinya berupa angka. Dari angka yang diperoleh akan dinalisis lebih
lanjut dalam analisis data. Penelitian ini terdiri atas dua variabel, yaitu
komunikasi dan etika kerja Islam sebagai variabel bebas (independent)
dan kinerja karyawan sebagai variabel terikat (dependent).
Sumber
data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
a.
Data Primer
Data
primer adalah data yang didapat dari sumber pertama baik dari individu atau
perseorangan, maka proses pengumpulan datanya perlu dilakukan dengan
memperhatikan siapa sumber utama yang akan dijadikan objek penelitian.[55] Dalam
hal ini data yang diperoleh dari karyawan BUYA.
b.
Data Sekunder
Data
sekunder adalah data yang diolah lebih lanjut dan di sajikan baik oleh pihak
pengumpul data primer atau pihak lain. Data sekunder dalam penelitian ini di
peroleh dari data tentang BUYA di Kudus dan cabangnya, mengenai gambaran umum
tentang perusahaan. Dan berbagai sumber informasi yang telah dipublikasikan
baik jurnal ilmiah, penelitian terdahulu, majalah, dan literatur yang
berhubungan dengan penelitian ini. Data sekunder dimaksudkan agar dapat memberikan
ilustrasi umum dan dapat mendukung hasil penelitian.[56]
2. Populasi
Dan Sampel
Populasi
adalah
keseluruhan subjek penelitian. Populasi merujuk pada sekumpulan orang
atau objek yang memiliki kesamaan dalam satu atau beberapa hal yang membentuk
masalah pokok dalam suatu penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh karyawan yang bekerja di BUYA yang berjumlah 142 karyawan.
Penentuan
jenis populasi ini didasarkan atas layanan bahwa yang akan di uji adalah
persepsi karyawan mengenai pengaruh komunikasi dan etika kerja Islam terhadap kinerja
karyawan, dikarenakan jumlah karyawan di BUYA tergolong banyak, sehingga memungkinkan untuk mengambil sampel
karyawan menjadi responden.
Teknik
pengambilan sampel yang di gunakan dalam penelitian ini adalah: metode Simple
Random Sampling. Simple Random sampling yaitu: cara pemelihan sampel di
mana anggota dari populasi di pilih satu persatu secara random atau acak (semua
mendapat kesempatan yang sama untuk di pilih) di mana jika sudah di pilih tidak
dapat di pilih lagi.67
Pada
umumnya peneliti menggunakan metode ini untuk memperoleh daftar dalam jumlah
yang besar dan lengkap secara cepat dan hemat. Penentuan jumlah sampel di
tentukan dengan rumus Slovin 68. Karena jumlah
respondennya sudah diketahui.
N
n =
1
+ (N.E²)
Keterangan:
n : ukuran sampel
N : ukuran populasi
E : nilai kritis (batas ketelitian) yang
diinginkan (persen kelonggaran) ketidaktelitian karena kesalahan penarikan
sampel).
Dalam
penelitian ini populasi (N) adalah 142 orang, sedangkan persen kelonggaran
ketidaktelitian karena kesalahan penarikan sampel (E) nya adalah 10%, yaitu
0,1. jadi besarnya sampel yang digunakan adalah sebagai berikut:
142
n =
1
+ (142.0,1²)
142
n =
1
+ (142.0,01)
142
n =
1+1,42
142
n =
2,42
n
= 58,6
Berdasarkan
data yang di peroleh, jumlah karyawan yang bekerja di BUYA dan cabangnya 142
orang. Jumlah sample untuk penelitian menggunakan margin of error sebesar
10%. Maka jumlah sample yang di teliti adalah 58,6 di bulatkan menjadi 60
karyawan.
3.
Metode
Pengumpulan Data
Metode
pengumpulan data sangat berpengaruh sekali dalam hasil penelitian. Karena
pemilihan metode pengumpulan data yang tepat akan diperoleh data yang relevan,
dan akurat. Metode pengumpulan data yang di gunakan dalam penelitian ini
adalah:
a.
Wawancara
Wawancara
adalah salah satu teknik pengumpulan data yang akurat untuk keperluan proses
pemecahan masalah tertentu, yang sesuai dengan data. Pencarian data dengan
teknik ini dapat di lakukan dengan cara tanya jawab secara lisan dan bertatap
muka langsung antara seorang atau beberapa orang pewawancara dengan seorang
atau beberapa orang yang di wawancarai.[57] Wawancara dalam
penelitian ini dilakukan dengan salah satu karyawan yaitu dengan Pak Asep
Maftuh selaku Direktur utama BUYA untuk mengetahui kebenaran isi kuesioner yang
menyangkut dengan pengaruh komunikasi dan etika kerja Islam terhadap kinerja
karyawan BUYA.
b.
Kuesioner
Kuesioner
adalah suatu cara pengumpulan data dengan memberikan atau menyebarkan daftar
pertanyaan kepada responden, dengan harapan mereka akan memberikan respon atas
daftar pertanyaan tersebut.
Daftar
pertanyaan bisa bersifat terbuka, jika jawaban tidak di tentukan sebelumnya.
Sedangkan bersifat tertutup jika alternatifalternatif jawaban telah di
sediakan. Instrument berupa lembar daftar pertanyaan dapat berupa angket (kuesioner
ataupun skala). Kuesioner yang di gunakan berupa pertanyaan yang menyangkut tentang
pengaruh komunikasi dan etika kerja Islam terhadap kinerja karyawan di BUYA Kuesioner
yang digunakan dalam penelitian iniadalah menggunakan skala likert di bawah ini:
VARIABEL
|
DEFINISI
|
INDIKATOR
|
SKALA
|
Komunikasi
|
Adalah Sejauh Mana Informasi (Ide,
Gagasan, Laporan, Intruksi, Pengetahuan) Yang Menentukan Jumlah umpan balik
yang dipahami karyawan BUYA
|
1) Frekuensi pemberian informasi, pengetahuan dan
gagasan
2) Tingkat Likert Umpan Balik Yang Diterima Dan
Dipahami Oleh karyawan BUYA keaktifan memberikan bimbingan dan penyuluhan
3) Tingkat keaktifan pengurus terhadap saran dan usul
4) Tingkat keaktifan pemantauan dari dewan pengawas
syari’ah
|
|
§ Etika Kerja Islam
|
Akhlak dalam menjalankan bisnis sesuai
dengan nilai-nilai Islam
|
Toto
Tasmara merinci ciri-ciri etos kerja Muslim, sebagai berikut: (1) Memiliki
jiwa kepemimpinan (leadhership); (2) Selalu berhitung; (3) Menghargai
waktu; (4) Tidak pernah merasa puas berbuat kebaikan (positive
improvements); (5) Hidup berhemat dan efisien; (6) Memiliki jiwa
wiraswasta (entrepreneurship); (7) Memiliki insting bersaing dan
bertanding; (8) Keinginan untuk mandiri (independent); (9) Haus untuk
memiliki sifat keilmuan; (10) Berwawasan makro (universal); (11)
Memperhatikan kesehatan dan gizi; (12) Ulet, pantang menyerah; (13)
Berorientasi pada produktivitas; dan (14) Memperkaya jaringan silaturrahim.
|
LIKERT
|
§ Kinerja Karyawan
|
Hasil kerja yang dapat dicapai oleh
seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi, sesuai wewenang dan
tanggung jawab masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan organisasi
bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral
maupun etika.
|
1) kualitas kerja
2) kuantitas kerja
3) pengetahuan tentang pekerjaan
4) pendapat atau pertanyaan yang disampaikan
5) perencanaan kerja
|
LIKERT
|
Dari
pengembangan instrumen penelitian tersebut, kemudian disusun beberapa item
pertanyaan kuesioner. Untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi responden
melalui pertanyaan yang diajukan, dengan
menggunakan skala likert. Dengan skala likert, variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator
variabel yang dijadikan titik tolak menyusun item-item pertanyaan. Interval
skala likert yang digunakan menunjukkan nilai atau skor.
Skala
likert
Instrumen
Variabel
|
Alternatif
Jawaban
|
Skor
|
Pengaruh
Komunikasi
|
Sangat Benar
|
5
|
Benar
|
4
|
|
Netral
|
3
|
|
Tidak Benar
|
2
|
|
Sangat tidak
Benar
|
1
|
|
Etika Kerja
Islam
|
Sangat Setuju
|
5
|
Setuju
|
4
|
|
Netral
|
3
|
|
Tidak setuju
|
2
|
|
Sangat tidak
setuju
|
1
|
|
Kinerja Karyawan
|
Sangat Benar
|
5
|
Benar
|
4
|
|
Netral
|
3
|
|
Tidak Benar
|
2
|
|
Sangat tidak
Benar
|
1
|
|
|
Sangat Benar
|
5
|
c.
Observasi
Untuk
mendapatkan data penelitian, penulis melakukan Observasi dengan
survey lokasi enelitian yaitu di Kantor
Badan Usaha Yayasan Arwaniyyah dan cabang-cabang usahanya (Percetakan BUYA,
Perusahaan Air Minum Mineral BUYA, BUYA Tour And Travel, Koperasi Arwaniyyah,
Majalah Arwaniyyah, Toko Buku dan Penerbit Mubarokatan Thoyyibah) dan menyebar
kuesioner langsung pada responden (karyawan) agar mendapatkan data yang otentik
dan spesifik.
d.
Dokumentasi
Dokumentasi
di gunakan untuk pengumpulan data berupa data tertulis yang mengandung
keterangan dan penjelasan serta pemikiran tentang fenomena yang masih aktual
dan sesuai dengan masalah penelitian. Misalnya: berupa arsip-arsip, buku-buku
catatan yang lainya yang berhubungan dengan penelitian ini.72 Dokumentasi
yang di gunakan yaitu yang berhubungan dengan profil tentang BUYA dan cabang
usahanya.
4.
Variable
Penelitian dan Pengukuran Data
Di
dalam penelitian ini ada tiga variable yang digunakan yaitu dua variable bebas,
X1 (komunikasi) dan X2 (etika kerja Islam) dan variable terikat yaitu Y
(kinerja karyawan). Dari masing-masing variable tersebut dapat diukur dengan
faktor-faktor yang mempengaruhinya yang dituangkan dalam sebuah kuesioner,
sehingga lebih terarah dan sesuai dengan metode yang digunakannya.
VARIABEL
|
INDIKATOR PENGUKURAN
|
Komunikasi
|
§ Frekuensi pemberian informasi, pengetahuan dan
gagasan
§ Tingkat Likert Umpan Balik Yang Diterima Dan
Dipahami Oleh karyawan BUYA keaktifan memberikan bimbingan dan penyuluhan
§ Tingkat keaktifan pengurus terhadap saran dan usul
§ Tingkat keaktifan pemantauan dari dewan pengawas
syari’ah
|
§ Etika Kerja Islam
|
(1) Memiliki jiwa kepemimpinan (leadhership);
(2) Selalu berhitung; (3) Menghargai waktu; (4) Tidak pernah merasa puas
berbuat kebaikan (positive improvements); (5) Hidup berhemat dan
efisien; (6) Memiliki jiwa wiraswasta (entrepreneurship); (7) Memiliki
insting bersaing dan bertanding; (8) Keinginan untuk mandiri (independent);
(9) Haus untuk memiliki sifat keilmuan; (10) Berwawasan makro (universal);
(11) Memperhatikan kesehatan dan gizi; (12) Ulet, pantang menyerah; (13)
Berorientasi pada produktivitas; dan (14) Memperkaya jaringan silaturrahim.
|
§ Kinerja Karyawan
|
§
kualitas kerja
§
kuantitas
kerja
§
pengetahuan
tentang pekerjaan
§
pendapat atau
pertanyaan yang disampaikan
§
perencanaan
kerja
|
5.
Teknik Analisis
Data
a. Uji
Validitas
Uji
dilakukan untuk mengetahui validitas butir-butir pertanyaan. Uji ini pada SPSS
18 dapat dilihat pada kolom corrected item-total correlation yang
merupakan nilai r hitung untuk masing-masing pertanyaan. Apabila r hitung berada
di bawah 0,05 berarti valid.[58]
b. Uji
Reabilitas
Uji
Reabilitas dilakukan untuk mengetahui konsistensi hasil pengukuran variable.
Suatu instrumen dikatakan reabel apabila memiliki nilai Cronbach Alpha lebih
dari 0,60.[59]
c. Uji
Asumsi Klasik
Uji
asumsi klasik adalah pengujian pada variabel penelitian dengan model regresi,
apakah dalam variable dan model regresinya terjadi kesalahan atau penyakit.
Berikut ini macam-macam Uji asumsi klasik:
1)
Uji Normalitas
Uji
normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data yang disajikan untuk
dianalisis lebih lanjut berdistribusi normal atau tidak. Untuk pengujian
normalitas data, dalam penelitian inihanya akan dideteksi melalui analisis
grafik yang dihasilkan melalui perhitungan regresi dan SPSS.[60]
2)
Uji
multikolinieritas
Uji
Multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan
adanya korelasi antar variabel bebas (independent). Dalam regresi yang
baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel bebas.
3)
Uji
heteroskedastisitas
Uji
Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam mode regresi terjadi
ketidaksamaan varians dan residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain.
Jika varians dan residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka
disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas.
4)
Uji Autokorelasi
Uji
autukorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi ada
korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode T dengan kesalahan pada
periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada problem
autokorelasi. Model regresi yan baik adalah yang bebas dari autokorelasi.
d. Analisis Regresi Berganda
Analisis
ini untuk mengetahui pengaruh suatu variabel produktivitas dihubungkan dengan
variable komunikasi dan etika kerja Islam.
Y
= a + b1x1 + b2x2+ e
Keterangan:
Y
= kinerja karyawan
a
= konstanta
x1
= komunikasi
x2
= etika kerja Islam
b
= koefisien regresi yaitu besarnya perubahan yang terjadi pada Y jika satu
unit
perubahan pada variabel bebas (variabel X).
e
= kesalahan prediksi.
e. Uji T
Menunjukkan
nilai signifikan dari tiap-tiap koefisien regresi terhadap kenyataan yang ada.80 Langkah-langkah:
1)
Menentukan
hipotesis nihil dan alternatif.
H0: β1 = β2 = 0 (tidak ada pengaruh yang signifikan antara
tingkat komunikasi dan etika kerja Islam terhadap kinerja karyawan).
H1: β1 β2
β0 (ada pengaruh yang signifikan antara tingkat komunikasi
dan etika kerja Islam terhadap kinerja karyawan).
2)
Menentukan level of significant (α = 0, 05)
3)
Kriteria
pengujian
H0 diterima bila t-tabel < t-hitung < t-tabel
H0 ditolak bila t-hitung > t-tabel atau t-hitung < -
t-tabel
4)
Perhitungan
nilai T
Dimana:
Î’
= koefisien regresi dari variabel tingkat pendidikan
Sb1 = standar error koefisien regresi
5)
Kesimpulan
Dengan membandingkan t hitung dengan t tabel dapat diketahui
pengaruh antara komunikasi dan etika kerja Islam terhadap kinerja karyawan.
f. Uji F
Digunakan
untuk mengetahui signifikasi pengaruh antara dua variabel bebas (komunikasi dan
etika kerja Islam) terhadap variabel terikat (kinerja karyawan) secara
bersama-sama, sehingga bisa diketahui apakah dengan yang sudah ada dapat
diterima atau ditolak. Adapun kriteria pengujiannya adalah
sebagai berikut:
1) H0:
β1 = β2
= 0 artinya bahwa tingkat komunikasi dan etika kerja Islam secara bersama-sama
tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan.
2) H1:
β1≠
β2 ≠
β0 artinya bahwa tingkat komunikasi dan
etika kerja Islam secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap kinerja karyawan.
3) Menentukan
level of signifikan α = 0, 05
4) Kriteria
yang digunakan dalam pengujian ini adalah sebagai berikut:
§ Ho
= diterima apabila F-hitung < F-tabel
§ Ho
= ditolak apabila F-hitung > F-tabel
5) Perhitungan
nilai F
R2
(k 1)
F =
(1-
R2) (n - k)
Keterangan:
R
= koefisien regresi linier berganda
k
= banyaknya variabel
n
= ukuran variabel
6) Kesimpulan
Dengan
membandingkan F hitung dan F tabel dapat diketahui pengaruh tingkat komunikasi
dan etika kerja Islam terhadap kinerja karyawan.
g. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien
determinasi (R²) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam
menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien determinasi adalah di
antara nol dan satu.
Nilai
R² yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan
variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti
variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan
untuk memprediksi variasi variabel independen. Secara umum koefisien determinan
untuk data silang/ crossection) relatif rendah karena adanya variasi
yang besar antara masing-masing pengamatan, sedangkan untuk data tuntun waktu
(time series) biasanya mempunyai nilai koefisien determinasi yang tinggi. Untuk
menjelaskan aplikasi dengan menggunakan program SPSS.
Untuk
mengetahui persentase besarnya perubahan variabel independen yang disebabkan
oleh variabel dependen. Koefisien determinasi ini di mana:
R2: koefisien
determinasi
Y : kinerja karyawan
X1: komunikasi
X2: etika kerja
Islam
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd
al-Rahim ‘Anbar al-Thahthawi, Hidayat al-Bari ila Tartib al-Ahadits
al-Bukhary, 2 Jilid, Kairo: al-Maktabat al-Tijariyah al-Kubra, 1353 H.
Ahmad, Mustaq, Etika Bisnis
dalam Islam, Jakarta:pustak Al-Kautsar,
Al-Faruqi,
Al-Tawhid: Its Implication for Thought and Life, Herndon, Virginia:
IIIT, 1995.
Ali
Hasan, Manajemen Bisnis Syari’ah Kaya di Dunia Terhormat di Akhirat,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Ali,
A. “Scaling an Islamic work ethic”. Journal of Social Psychology,
(1988). 128 (5): Rahman, M., Muhamad,
N., dan Othman, A. S., The Relationship Between Islamic Work Ethics And
Organisational Commitment: A Case Analysis. Malaysian Management
Review. 41 (1) January-June 2006
Ali,
A. Islamic Perspectives on Management and Organization. Edward Elgar
Publishing, 2005. UK
Alimin,
Etika & Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta: BPFE,
2004.
Arifin, Johan, Fiqih
Perlindungan Konsumen, Semarang : Rasail, 2007.
Arni, Muhammad, Komunikasi
Organisasi, Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2009.
Beekum,
Rafik Issa, Etika Bisnis Islami, Yogyakarta:pustaka belajar, 2004.
Bungin,
H. M. Burhan, “Metodologi Penelitian Kuantitatif”, Jakarta: Prenada
Media.
Caco,
Rahmawati, “Etos Kerja” (Sorotan Pemikiran Islam),” dalam Farabi Jurnal
Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah, terbitan Fakultas Ushuluddin
dan Dakwah IAIN Sultan Anai Gorontalo, Vol. 3, No. 2, 2006.
Dharma,
Surya, Manajemen Kinerja Falsafah, Teori dan Penerapannya, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
Hubungan
Antara Etika Kerja Islam dengan Sikap Terhadap Perubahan Organisasi, Jurnal
Skripsi.
Husain
Umar, Research Methods In Finance And Banking, Jakarta: Gramedia Pustaka
Imam
ghozali, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Progam SPSS, Semarang;
Badan Penerbit Undip,2005.
Ismanto, Kuat, Manajemen
Syari’ah Implementasi TQM Dalam Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta:
Pustaka belajar,2009.
Keraf, A. Sony, Etika Bisnis dan
Tuntutan Relevansi, Yogyakarta:kanisius,1998.
Kusumawati,
Ratna, “Analisis Pengaruh Budaya Organisasi dan Gaya Kepemimpinan Terhadap
Kepuasan Kerja Untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan: (Studi Kasus pada RS
Roemani Semarang),” Jurnal Ekonomi dan Bisnis, III, November, 2008.
Luth, Tohir, Antara Perut dan
Etos Kerja Dalam Islam, Gema Insani: Jakarta, 2003
Madjid,
Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995.
Madjid,Nurcholish,
Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, Jakarta: Paramadina, 1999.
Manshur,
Fadlil Munawwar, “Profesionalisme dalam Perspektif Islam,” dalam Edy Suandi
Hamid, dkk (peny), Membangun Profesionalisme Muhammadiyah, Yogyakarta:
LPTP PP Muhammadiyah-UAD Press, 2003.
Muhammad,
“metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitati”. Jakarta: Rajawali
Pers. 2008.
Myrdal,
Gunnard, An Approach to the Asian Drama, New York: Vintage Books, 1970.
Panuju,
Redi, Etika Bisnis Tinjauan Empiris Dan Kiat Mengembangkan Bisnis sehat,Jakarta:PT
Grasindo,1995.
Prawirosentono,
Suryadi, Kebijakan Kinerja Karyawan, Yogyakarta: BPFE, 1999.
Riswandi, Ilmu Komunikasi, Yogyakarta;
Graha ilmu, 2009.
Samuelson,
Kurt, Religion and Economic Action: A Critic of Max Webe, New
York: Harper Torchbook, 1964.
Sarsono,
Perbedaan Nilai Kerja Generasi Muda Terpelajar Jawa dan Cina, Yogyakarta:
Perpustakaan Fakultas Psikologi UGM, 1998.
Simorangkir,
Etika Bisnis, Jabatan dan Perbankan, Jakarta: PT. Rineka Cipta,2003,.
Suharto
dan Budhi Cahyono “Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan, dan Motivasi Kerja
Terhadap Kinerja Sumber Daya Manusia di Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah” Jurnal
Ekonomi, I (Januari, 2005.
Syari’ah,
Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009.
Tasmara, Toto, , Membudayakan
Etos Kerja Islami, Gema Insani; Jakarta, 2008.
Utama, 2002.
Wahyuni,
Sri, (2007), Pengaruh Komitmen Organisasi dan Keterlibatan Kerja Terhadap
Widodo,
Sri, pengaruh komunikasidan partisipasi anggota terhadapkeberhasilan KUD
mlati, akmenika; Yogyakarta, 2008.
Yousef, D.A.. Organisational
commitment as a mediator of the relationship between Islamic work ethic
and attitudes toward organisational change. (2000) Human Relations,
Yusanto,
Muhammad Ismail dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami,
Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
[1] Ali, A.
(2005). Islamic Perspectives on Management and Organization. Edward
Elgar Publishing, UK
[2] Yousef, D.A. (2000). Organisational commitment as a mediator
of the relationship between Islamic work ethic and attitudes toward
organisational change. Human Relations, 53 (4).
[4] Yousef,
D.A. (2000). Organisational commitment as a mediator of the relationship
between Islamic work ethic and attitudes toward organisational change. Human
Relations, 53 (4). 513
[5] Rahman,
M., Muhamad, N., dan Othman, A. S., (2006). The Relationship Between
Islamic Work Ethics And Organisational Commitment: A Case Analysis. Malaysian
Management Review. 41 (1) January-June 2006
[6]
Mustaq Ahmad, Etika
Bisnis dalam Islam, Jakarta:pustak Al-Kautsar,h. 27
[7]
Kuat ismanto, Manajemen
Syari’ah Implementasi TQM Dalam Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta:
Pustaka belajar,2009, hal.41.
[8]
. A. Sony Keraf, Etika
Bisnis dan Tuntutan Relevansi, Yogyakarta:kanisius,1998, hal.55.
[9] Rafik Issa
Beekum, Etika Bisnis Islami, Yogyakarta:pustaka belajar, 2004, hal.5.
[10] Redi Panuju, Etika
Bisnis Tinjauan Empiris Dan Kiat Mengembangkan Bisnis Sehat,Jakarta:PT
Grasindo,1995, hal.7
[11] Penelitin sri
widodo,pengaruh komunikasidan partisipasi anggota terhadapkeberhasilan KUD
mlati, akmenika; Yogyakarta, 2008, h. 24
[12]
Riswandi, ilmu
komunikasi, Yogyakarta; Graha ilmu, 2009, h. 1
[13] Riswandi, op.cit,
h. 3
[14]
Muhammad Arni, komunikasi
organisasi, Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2009, h. 1
[15] Penelitin sri
widodo,pengaruh komunikasidan partisipasi anggota terhadapkeberhasilan KUD
mlati, akmenika; Yogyakarta, 2008, h. 24
[16] Kuat Ismanto, Manajemen
Syari’ah Implementasi TQM dalam Lembaga Keuangan
Syari’ah, Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2009, h. 41.
[17] Nur Kholis, Etos
Kerja Islami, diambil dari: http://nurkholis77.staff.uii. ac.id/etoskerja-
isl ami
[18] O.P.
Simorangkir, Etika Bisnis, Jabatan dan Perbankan, Jakarta: PT. Rineka
Cipta,
2003,
h. 3
[20] Redi Panuju, Etika
Bisnis Tinjauan Empiris dan Kiat Mengembangkan Bisnis Sehat,
Jakarta:
PT Grasindo, 1995, h. 2.
[21] Sri wahyuni,
(2007), Pengaruh Komitmen Organisasi dan Keterlibatan Kerja Terhadap
Hubungan
Antara Etika Kerja Islam dengan Sikap Terhadap Perubahan Organisasi, Jurnal
Skripsi.
h.
8.
[23] Rafik Issa
Beekum, Etika Bisnis Islami, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004, h. 3
[24]
Johan Arifin, Fiqih
Perlindungan Konsumen, Semarang : Rasail, 2007, h. 63-64.
[25] Ali Hasan, Manajemen
Bisnis Syari’ah Kaya di Dunia Terhormat di Akhirat, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009, h. 171
[26] dan Alimin, Etika
& Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta: BPFE, 2004, h.
57
[27]
Ali Hasan, op. cit,
h. 171
[28] Muhammad Ismail
Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, Jakarta:
Gema Insani Press, 2002, h. 199.
[29] Tesis Weber ini telah menimbulkan sikap pro dan kontra di
kalangan sosiolog. Sebagian sosiolog mengakui kebenaran tesisnya itu, tetapi
tidak sedikit yang meragukan, bahkan yang menolaknya. Kurt Samuelson, ahli sejarah
ekonomi Swedia adalah salah seorang yang menolak keseluruhan tesis Weber
tersebut, dengan mengatakan bahwa tidak pernah dapat ditemukan dukungan tentang
kesejajaran antara protestantisme dengan tingkah laku ekonomis. Kurt Samuelson,
Religion and Economic Action: A Critic of Max Webe, (New York:
Harper Torchbook, 1964), hlm. 1-26.
[30] Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas
Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 76. Lihat juga,
Nurcholish Madjid, Fatsoen Nurcholish Madjid, (Jakarta: Republika, 2002), hlm.
24. Menurut hipotesa Weber bahwa ajaran Protestantisme sangat bersesuaian
dengan semangat kapitalisme. Weber lebih jauh menjelaskan bahwa penganut
Protestan cenderung untuk mengumpulkan kekayaan dan mengejar sukses material
sebagai bukti dari anugerah Tuhan pada mereka, dan sekaligus sebagai konfirmasi
atas status mereka sebagai orang-orang pilihan Tuhan untuk diselamatkan di
dunia dan di akhirat nanti. Sebagai konsekwensi logis dari keyakinan tersebut,
maka kaum Protestan di Jerman yang diamati Weber menampilkan etos kerja yang
unik, seperti: bekerja keras, bertindak rasional, berdisiplin tinggi,
berorientasi pada sukses material, hemat dan bersahaja, tidak mengumbar
kesenangan serta menabung dan berinvestasi.
[31] Nurcholish
Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 215.
[32] Fadlil Munawwar Manshur, “Profesionalisme dalam Perspektif
Islam,” dalam Edy Suandi Hamid, dkk (peny), Membangun Profesionalisme
Muhammadiyah, (Yogyakarta: LPTP PP Muhammadiyah-UAD Press, 2003), hlm.
20. Sering terdengar pendapat yang mengatakan bahwa etos kerja masyarakat
Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan bangsa-bangsa Asia lainnya,
terutama Jepang dan Korea. Pandangan ini antara lain didasarkan pada kenyataan
bahwa tingkat kemajuan ekonomi Indonesia jauh tertinggal dibandingkan kedua
bangsa tersebut di atas. Namun, pendapat itu ada yang membantah dengan
menunjukkan bagaimana kerasnya kerja petani dan buruh di pelbagai tempat di
Indonesia. Rendahnya tingkat kemajuan bangsa Indonesia itu, menurut pendapat
ini tidak terkait sama sekali dengan tinggi rendahnya etos kerja, tetapi lebih
terkait dengan politik ekonomi pembangunan. Kedua pendapat tersebut memiliki
kekuatan dan kelemahan masing-masing, tetapi sukar untuk disangkal bahwa
tingkat kemakmuran dan kesejahteraan suatu masyarakat juga sangat dipengaruhi
oleh etos kerja yang ada pada masyarakat itu.
[33] Toto Tasmara, 2008, Membudayakan
Etos Kerja Islami, Gema Insani; Jakarta. Hlm 124
[34] Tohir Luth, 2003, Antara Perut
dan Etos Kerja Dalam Islam, Gema Insani: Jakarta. Hlm 29-31
[35] Ismail al-Faruqi melukiskan Islam sebagai a religion of
action dan bukan a religion faith. Oleh karena itu, Islam sangat
menghargai kerja. Dalam sistem teologi Islamkeberhasilan manusia dinilai di
akhirat dari hasil amal dan kerja yang dilaksanakannya di dunia. Al-Faruqi,
Al-Tawhid: Its Implication for Thought and Life (Herndon, Virginia:
IIIT, 1995), hlm. 75-6.
[37] Q.S. Al-Kahf/ 18: 110. Islam, sebagai sistem nilai dan
petunjuk, misalnya, secara tegas mendorong umatnya agar memiliki kejujuran
(Q.S. 33: 23-24); mendorong hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan (Q.S. 7:
13, 17: 29; 25: 67; 55: 7-9); anjuran melakukan kerja sama dan tolong-menolong
dalam kebaikan (Q.S. 5: 2); kerajinan dan bekerja keras (Q.S. 62: 10); sikap
hati-hati dalam mengambil keputusan dan tindakan (Q.S. 49: 6); jujur dan dapat
dipercaya (Q.S. 4: 58; 2: 283; 23: 8); disiplin (Q.S. 59: 7); berlomba-lomba
dalam kebaikan (Q.S. 2: 148; 5: 48). Prinsip-prinsip dasar dari rangkaian
sistem nilai yang terkandung dalam al-Qur’an tersebut di atas dapat dijadikan
menurut penulis, dapat dijadikan tema sentral dalam melihat persoalan etos
kerja versi ajaran Islam.
[40] Rahmawati Caco, “Etos Kerja” (Sorotan Pemikiran Islam),”
dalam Farabi Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah, (terbitan
Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Anai Gorontalo, Vol. 3, No. 2,
2006), hlm. 68-69.
[41] Dari Anas Ibn Malik (dilaporkan bahwa) ia berkata: Rasulullah
Saw. telah bersabda, “Apabila salah seorang kamu menghadapi kiamat sementara di
tangannya masih ada benih hendaklah ia tanam benih itu.” (H.R. Ahmad).
[42] Sebuah
hadis yang amat terkenal, “Sesungguhnya (nilai) segala pekerjaan itu adalah
(sesuai) dengan niat-niat yang ada, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang
ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya (ditujukan) kepada (ridla) Allah
dan Rasul-Nya, maka ia (nilai) hijrahnya itu (mengarah) kepada (ridla) Allah
dan Rasul-Nya; dan barang siapa yang hijrahnya itu ke arah (kepentingan) dunia
yang dikehendakinya, atau wanita yang hendak dinikahinya, maka (nilai)
hijrahnya itu pun mengarah kepada apa yang menjadi tujuannya.” (Lihat al-Sayyid
‘Abd al-Rahim ‘Anbar al-Thahthawi, Hidayat al-Bari ila Tartib al-Ahadits
al-Bukhary, 2 Jilid (Kairo: al-Maktabat al-Tijariyah al-Kubra, 1353 H),
jil. 1, hlm. 220-221;
[48] Sarsono, Perbedaan Nilai Kerja Generasi Muda Terpelajar
Jawa dan Cina, (Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Psikologi UGM, 1998),
hlm. 98.
[49] Suryadi
Prawirosentono, Kebijakan Kinerja Karyawan, Yogyakarta: BPFE,
1999,h.1-2.
[50] Ratna
Kusumawati, “Analisis Pengaruh Budaya Organisasi dan Gaya Kepemimpinan Terhadap
Kepuasan Kerja Untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan: (Studi Kasus pada RS
Roemani Semarang),” Jurnal Ekonomi dan Bisnis, III (November, 2008).
h.152.
[51] Surya Dharma, Manajemen
Kinerja Falsafah, Teori dan Penerapannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005, h.18.
[52] Suharto dan
Budhi Cahyono “Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan, dan Motivasi Kerja
Terhadap Kinerja Sumber Daya Manusia di Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah” Jurnal
Ekonomi, I (Januari, 2005), h. 15.
[53]
Skripsi
Ahmad Zainuri, pengaruh etika kerja dan kepemimpinan Islam terhadap
kinerja
karyawan (Studi pada KJKS/UJKS Koperasi Kab. Pati), 2011, h 33
[54] H. M. Burhan
Bungin, “Metodologi Penelitian Kuantitatif”, Jakarta: Prenada Media. H.
75
[55] Muhammad, “metodologi
Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitati”. Jakarta: Rajawali Pers.
2008. h. 103
[56] Husain Umar, Research
Methods In Finance And Banking, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002, hlm.82.
[57] Muhammmad,
Metode Penelitian Ekonomi Islam, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2008,
hlm.151.
[58] Imam ghozali, Aplikasi
Analisis Multivariate dengan Progam SPSS, Semarang; Badan Penerbit Undip,2005,h.45
[59]
Ibid
[60] Ibid Hal 70
Tidak ada komentar:
Posting Komentar