Cari Blog Ini

Kamis, 06 Juni 2013

karya anak bangsa


Sepuluh-sepuluh
Bintang-bintang sudah berpamitan, pulang membawa patahan harapan. Langit sekarang gelap, desir angin semakin menusuk tulang, mngantar manusia lelap di alam impian.
Salamah tak dapat pejamkan matanya. Ia masih tertawa sendiri sambil menggoyang-goyangkan pintu jendela. Salamah tidak gila. Salamah bahagia karena besok arjunanya datang meminagnya.
Dua jam menanti, akhirnya datang juga. Pudin namanya, hidungnya mancung, alis tebal, berbadan tegap dengan busana ala orang kota. Barangkali itu yang membuat Salamah minta cepat-cepat dipinang.
“Terserah Salamah saja. Tapi kau sanggup idak kalau sepuluh-sepuluh?”. Jawab bapak Salamah setelah Pudin menyampaikan maksudnya agar diijinkan mengawini Salamah.
Mendengar jawaban itu, Pudin hanya bisa gigit jari. Emas sepuluh Suku dan uang sepuluh juta, mau dapat dari mana?
“Tidak bisa kurang bah?”.
“Ini adat, tak boleh ditawar”
Awak tak punya uang sebanyak itu”
“Berarti kau tak siap menikah. Mau kau kasih makan apa anak-istrimu nanti kalau mahar saja kau tak punya?”
Pudin beranjak dari kursi, melangkah pergi tanpa permisi. Salamah lari ke kamar, mengunci pintu dari dalam. Semalaman Salamah tak keluar. Ia tak sedang tertawa sendiri seperti kemarin malam. Salamah sejak tadi bungkam, hanya air matanya yang bicara, tanpa sura.
Salamah hanya ingin menikah segera. Baginya, mahar tak penting. Tapi bagi bapaknya, mahar itu wajib. Itu ajaran leluhur, peraturan adat bilung, tak boleh dilanggar, tak boleh di tentang, tak bisa dibantah dengan apapun, termasuk cinta. Melanggar adat itu berarti menantang petaka.
Mahar “sepuluh-sepuluh” itu belum apa-apa dibanding kerabat seadatnya yang gila harta. Terkadang ada yang sengaja mencekik calon menantunya dengan tawaran dua pulu-dua puluh. Kalau punya uang dua puluh juta dan emas dua puluh suku, baru boleh memboyong perawanya, ijab kabul dan bikin anak..
Meski pangeranya tak punya uang sepuluh juta, tak dapat beli emas sepuluh suku, Salamah tetap teguh dengan pilihanya. Ia sudah terlampau cinta. Barangkali karena itu Salamah mengangguk saat ditawari kawin lari, sekalipun ia harus dikutuk emak-bapaknya.
Dua-tiga bulan mereka hidup bersama, memadu kasih seromantis mungkin. Mereka menyewa istana kecil di desa terpencil yang tak mungkin terbaui oleh orang tua salamah. Pudin, suami kebanggaanya bekerja di Cinta Manis. Bergelut dengan batang tebu, menjemur badan seharian, mandi keringat, banting tulang siang-malam.
Dua tiga bulan sesekali Pudin pulang, sekedar mengobati rindu Salamah yang tiap malam hanya berteman guling. Semalam saja bagi Salamah cukup untuk nafkah batinnya. Keesokanya ia harus bangun pagi-pagi menyiapkan sarapan suaminya sebelum berangkat ke rantau orang.
“Jaga diri baik-baik, Mas”. Salamah melambaikan tangan, memandangi suaminya yang melaju kian jauh, hilang di penghujung jalan. Lamban langkahnya kembali ke pelataran rumah, menikmati kesunyian sampai suaminya pulang satu bulan lagi.
Bulan Desember sudah puas menyiksa Salamah dalam kesendirian. Sampai Januari dapat separo, Salamah masih berteman bantal guling. Sudah sebulan setengah suaminya tak pulang. Beras di kualinya sudah habis. Sudah dua hari ini Salamah makan ubi rebus. Sedang ubi saja tak cukup untuk kebutuhan gizi janin yang dikandungnya.
Januari menutup tanggalnya. Salamah masih tetap sendiri, masih tetap makan ubi. Entah yang terjadi di rantau sana, suaminya tak juga pulang. Mungkin pabrik baru ada proyek besar, jadi kuli tebang harus kerja lembur. Tapi kenapa harus dua bulan tak pulang. Seharusnya suaminya ingat kalau uang yang ditinggalkan hanya cukup untuk makan satu bulan. Seharusnya Pudin sudah pulang untuk sekedar mengantar uang kalau memang pekerjaannya sedang ada proyek besar sehingga tak bisa ditinggalkan. Atau jangan-jangan?
Perut Salamah semakin buncit. Gayanya berjalan sudah lagaknya tentara, membusungkan dada sejalan-jalan, sambil menjinjing bungkusan sosis yang akan dijajakanya di halaman Sekolah Dasar, tak jauh dari rumahnya. Meski tak seberapa, setidaknya hasil jualan sosis itu membuatnya tetap bertahan hidup, menyambung nyawa jabang bayi yang dikandungnya.
Sejak suaminya tak pulang, Salamah tak lagi memperdulikan kebutuhan gizinya. Ia nyaris tak pernah minum susu khusus ibu hamil. Jangankan susu, makan saja pagi-sore, itupun kalau kualinya masih ada beras, kalau tidak, seharian ia hanya makan ubi.
Memasuki bulan kesembilan dari masa kandunganya, Salamah tidak lagi mampu duduk panas-panasan di halaman SD, menuggui anak-anak berebutan sosisnya. Bayi yang dikandungnya itu sudah tidak mau lagi diajak cari nafkah. Salamah tak lagi sekuat kemarin. Badanya rapuh, kurus tak terurus.
Hari ini Salamah dapat masalah. Dalam baringan tidurnya Salamah payah merintih kesakitan. Satu jam lebih perutnya melilit.  Padahal ia tak habis makan sambal. Sekujur tubuhnya mulai basah keringat. Sekuatnya Salamah menjerit, tapi tak seorangpun yang mendengar. Gubuk tinggalnya berjarak puluhan meter dari rumah-rumah tetangga, mustahil mereka mendengar jeritan Salamah.
Salamah baru tahu, sakit perut yang dideritanya itu ternyata berkah. Perutnya melilit karena ditendangi jabang bayinya yang sudah tak kerasan berlama-lama di dalam perut. Puas menendangi perut ibunya, jabang bayi itu memaksa keluar sendiri, tak dibantu bidan atau dukun bayi.
Din, orang kiri-kanan rumah memanggilnya. Bukan ayahnya yang menamai. Nama itu menceritakan bagaimana sejarah Din lahir, Mahar Din lengkapnya.
Din, ibunya sendiri yang mengumandangkan andzan di kedua telinganya. Ayahnya tak mau pulang untuk sekedar mengumandangkan adzan atau memotong rambut Din pada hari ke tujuh kelahiranya.
Din sudah berumur tiga puluh lima hari, sudah bisa diajak keluar rumah. Salamah mengemasi pakaian dan menguci pintu dari luar. Tekadnya sudah bulat untuk kembali ke rumah orang tuanya, apapun resikonya.
Setengah hari penuh ia dan bayinya dikoyak mobil omprengan, ditebari debu-debu beterbangan meyelip di pelupuk mata, asap rokok mengepul pekat, diiringi gemuruh suara mesin tua, sejalan-jalan.
Din sampai di rumah kakek-neneknya. Kedatangan Salamah disambut dengan kucuran air mata emaknya. Begitu mesra ia peluk emaknya. Setahun lamanya ia tak pernah merasakan kehangatan tubuh emaknya.
Puas meguras air mata, sesimpul senyum nampak begitu ikhlas dari wajah Salamah waktu emaknya menimang cucu hasil kawin larinya itu. Kekhawatiranya selama perjalanan tadi terbantahkan dengan timangan itu. Ia dan bayinya diterima dengan hangat.
Begitu lahap Salamah meyantap masakan emaknya. Belum juga kenyang, seketika kunyahanya terhenti mendengar suara ribut dari ruang tamu. Ia kenal betul suara itu. Nadanya khas, sama persis seperti suara yang ia dengar setiap kali kena marah abahnya waktu masih perawan dulu.
“Anak siapa yang kau gendong itu?”
“Cucu kita Bah”
“Cucu, sejak kapan kita punya cucu?”
“Coba abah tengok ke belakang, siapa yang datang”
Laki-laki paruh baya itu meletakkan pecinya, lalu bergegas ke dapur. Di dapatinya sesosok perempuan yang tak asing baginya, Salamah, putri semata wayangnya yang setahun lamanya menghilang, seperti ditelan bumi. Jidatnya seketika mengerut, mukanya merah padam, matanya yang juling melotot lebar.
“Buat apa kau pulang? Apa laki-laki yang kau banggakan itu tak mampu kasih kau makan?”, suara itu menggelegar keras, sambil tanganya menunjuk-nunjuk muka Salamah.
Seketika Salamah tersungkur, berlutut, memegangi kaki abahnya. Ditumpahkannya semua air mata yang bisa ia keluarkan, menangis sejadi-jadinya.
“Ampun abah”
“Sejak kapan kau punya bapak?”
“Salamah khilaf”
“Kau tak khilaf, tapi tersesat. Kau sudah melumuri muka orang tuamu dengan kotoran anjing”. Dihempaskannya tubuh Salamah yang masih erat memeluk kedua kakinya. Salamah tersungkur ke tanah. Tangisnya pecah lagi. Air matanya semakin deras mengucur, menetes di baju lusuhnya, menembus kulit, tajam seperti peluru.
Emaknya tak tinggal diam mrelihat darah dagingnya yang pernah dikandugnya sembilan bulan itu dianiaya, dihardik tanpa ampun.
“Istighfar abah! Bagaimanapun Salamah anak kita, darah daging kita”. Diraihnya lengan Salamah, menyandarkan tubuhnya di kursi sembari jari-jari lentiknya mengusap air mata yang tumpah belepotan di wajah Salamah.
“Sekarang kau habiskan nasi yang sudah kau sisai itu. Kalau sudah kenyang kau boleh pergi”.
Salamah benar-benar mati kutu. Harapanya untuk memperbaiki kesalahan pupus. Di otaknya sekarang, ia hanya akan menghabiskan sisa umurnya dalam kutukan. Salamah tak bisa protes. Ia tak ingin lagi membantah bapaknya seperti dulu, saat ia memilih kawin lari. Apapun yang dikatakan abahnya adalah sabda, harus ditaati.
Sekarang bapaknya memerintahkanya menghabiskan sisa makananya kemudian pergi. Ia harus patuh. Itu artinya ia harus meneruskan makan, selesai itu ia harus angkat kaki.
“Salamah pamit sekarang mak”, ia meraih Din dari gendongan neneknya.
“Tidak nak! Tinggallah sementara waktu sampai anakmu agak besar”.
“Salamah tidak ingin membantah perintah abah lagi, Mak”
“Kalau kau memaksa pergi, biar anakmu tinggal di sini, emak yang akan rawat”. Didekapnya cucu pertamanya itu.
“Tidak! Biar dibawanya pergi sekalian”, suara itu menggelegar lagi, keras, jelas membredel gendang telinga.
“Abah tak kashian sama cucu kita?”
“Anak haram itu bukan cucuku”
Salamah meraih Din dari dekapan neneknya, menggendong tas dan mulai melangkah keluar pintu. Tidak ada yang diucapkan Salamah, tidak pula emaknya, sejak tadi terbungkam melihat anak dan cucunya semakin jauh melangkah. Ia hanya bisa menagis untuk salamah, itu saja.
Setelah seharian berjalan puluhan kilo, sampai juga Salamah di gubugnya. Badanya payah, lemah tak ada daya. Beruntung bayinya masih terpulas tidur. Ia bisa istirahat, meletakkan kepalanya yang sejak tadi seperti dipukuli dengan batu.
Mentari sudah menutup senja. Angin berhembus menelusup lewat celah dinding papan yang sudah lapuk dimakan rayap. Hembusannya semakin kencang, semakin dingin, terasa sampai ke tulang. Salamah masih terbaring di ranjang kayu yang sudah mau roboh. Badanya menggigil kedinginan tapi suhu badanya mengagah. Bibirnya pucat putih. Hidungnya mengalirkan cairan merah yang sejak tadi tak juga berkenti.
Din menagis, mugkin ia lapar, mungkin juga kedinginan. Seeratnya Salamah medekap Din, menyusuinya. Tapi Din masih saja menangis. Din belum kenyang rupanya. Dari tadi tetek ibunya tak bisa keluar susunya.
Malam sudah larut. Angin tetap berhembus, semakin menusuk. Badan Salamah panas-dingin. Sudah dua kali ia muntah. Yang kedua ini sedikit bercampur darah. Salamah tak bisa apa-apa lagi. Sekujur badanya lemah tak ada daya, ia sekarat.
Malam tinggal separo, bintang-bintang mulai berpamitan, menghilang tanpa membawa sepatahpun harapan. Mungkin mereka tak melihat seorang janda dalam baringan sakitnya melafal do’a, memanjatkan harapan agar sebelum dipahatkan nisan, buah cintanya itu ada yang sudi merawatnya, menetekkanya, mencucikan popoknya, sampai nanti Din bertemu dengan bapaknya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar