Sepuluh-sepuluh
Bintang-bintang sudah berpamitan, pulang membawa patahan
harapan. Langit sekarang gelap, desir angin semakin menusuk tulang, mngantar
manusia lelap di alam impian.
Salamah tak dapat pejamkan matanya. Ia masih tertawa
sendiri sambil menggoyang-goyangkan pintu jendela. Salamah tidak gila. Salamah
bahagia karena besok arjunanya datang meminagnya.
Dua jam menanti, akhirnya datang juga. Pudin namanya,
hidungnya mancung, alis tebal, berbadan tegap dengan busana ala orang kota.
Barangkali itu yang membuat Salamah minta cepat-cepat dipinang.
“Terserah Salamah saja. Tapi kau sanggup idak kalau
sepuluh-sepuluh?”. Jawab bapak Salamah setelah Pudin menyampaikan maksudnya
agar diijinkan mengawini Salamah.
Mendengar jawaban itu, Pudin hanya bisa gigit jari. Emas
sepuluh Suku dan uang sepuluh juta, mau dapat dari mana?
“Tidak bisa kurang bah?”.
“Ini adat, tak boleh ditawar”
“Awak tak punya uang sebanyak itu”
“Berarti kau tak siap menikah. Mau kau kasih makan apa
anak-istrimu nanti kalau mahar saja kau tak punya?”
Pudin beranjak dari kursi, melangkah pergi tanpa permisi.
Salamah lari ke kamar, mengunci pintu dari dalam. Semalaman Salamah tak keluar.
Ia tak sedang tertawa sendiri seperti kemarin malam. Salamah sejak tadi
bungkam, hanya air matanya yang bicara, tanpa sura.
Salamah hanya ingin menikah segera. Baginya, mahar tak
penting. Tapi bagi bapaknya, mahar itu wajib. Itu ajaran leluhur, peraturan
adat bilung, tak boleh dilanggar, tak boleh di tentang, tak bisa dibantah
dengan apapun, termasuk cinta. Melanggar adat itu berarti menantang petaka.
Mahar “sepuluh-sepuluh” itu belum apa-apa dibanding kerabat
seadatnya yang gila harta. Terkadang ada yang sengaja mencekik calon menantunya
dengan tawaran dua pulu-dua puluh. Kalau punya uang dua puluh juta dan emas dua
puluh suku, baru boleh memboyong perawanya, ijab kabul dan bikin anak..
Meski pangeranya tak punya uang sepuluh juta, tak dapat
beli emas sepuluh suku, Salamah tetap teguh dengan pilihanya. Ia sudah
terlampau cinta. Barangkali karena itu Salamah mengangguk saat ditawari kawin
lari, sekalipun ia harus dikutuk emak-bapaknya.
Dua-tiga bulan mereka hidup bersama, memadu kasih
seromantis mungkin. Mereka menyewa istana kecil di desa terpencil yang tak
mungkin terbaui oleh orang tua salamah. Pudin, suami kebanggaanya bekerja di
Cinta Manis. Bergelut dengan batang tebu, menjemur badan seharian, mandi
keringat, banting tulang siang-malam.
Dua tiga bulan sesekali Pudin pulang, sekedar mengobati
rindu Salamah yang tiap malam hanya berteman guling. Semalam saja bagi Salamah
cukup untuk nafkah batinnya. Keesokanya ia harus bangun pagi-pagi menyiapkan
sarapan suaminya sebelum berangkat ke rantau orang.
“Jaga diri baik-baik, Mas”. Salamah melambaikan tangan,
memandangi suaminya yang melaju kian jauh, hilang di penghujung jalan. Lamban
langkahnya kembali ke pelataran rumah, menikmati kesunyian sampai suaminya
pulang satu bulan lagi.
Bulan Desember sudah puas menyiksa Salamah dalam
kesendirian. Sampai Januari dapat separo, Salamah masih berteman bantal guling.
Sudah sebulan setengah suaminya tak pulang. Beras di kualinya sudah habis.
Sudah dua hari ini Salamah makan ubi rebus. Sedang ubi saja tak cukup untuk
kebutuhan gizi janin yang dikandungnya.
Januari menutup tanggalnya. Salamah masih tetap sendiri,
masih tetap makan ubi. Entah yang terjadi di rantau sana, suaminya tak juga
pulang. Mungkin pabrik baru ada proyek besar, jadi kuli tebang harus kerja
lembur. Tapi kenapa harus dua bulan tak pulang. Seharusnya suaminya ingat kalau
uang yang ditinggalkan hanya cukup untuk makan satu bulan. Seharusnya Pudin
sudah pulang untuk sekedar mengantar uang kalau memang pekerjaannya sedang ada
proyek besar sehingga tak bisa ditinggalkan. Atau jangan-jangan?
Perut Salamah semakin buncit. Gayanya berjalan sudah
lagaknya tentara, membusungkan dada sejalan-jalan, sambil menjinjing bungkusan
sosis yang akan dijajakanya di halaman Sekolah Dasar, tak jauh dari rumahnya.
Meski tak seberapa, setidaknya hasil jualan sosis itu membuatnya tetap bertahan
hidup, menyambung nyawa jabang bayi yang dikandungnya.
Sejak suaminya tak pulang, Salamah tak lagi memperdulikan
kebutuhan gizinya. Ia nyaris tak pernah minum susu khusus ibu hamil. Jangankan
susu, makan saja pagi-sore, itupun kalau kualinya masih ada beras, kalau tidak,
seharian ia hanya makan ubi.
Memasuki bulan kesembilan dari masa kandunganya, Salamah
tidak lagi mampu duduk panas-panasan di halaman SD, menuggui anak-anak
berebutan sosisnya. Bayi yang dikandungnya itu sudah tidak mau lagi diajak cari
nafkah. Salamah tak lagi sekuat kemarin. Badanya rapuh, kurus tak terurus.
Hari ini Salamah dapat masalah. Dalam baringan tidurnya
Salamah payah merintih kesakitan. Satu jam lebih perutnya melilit.
Padahal ia tak habis makan sambal. Sekujur tubuhnya mulai basah keringat.
Sekuatnya Salamah menjerit, tapi tak seorangpun yang mendengar. Gubuk
tinggalnya berjarak puluhan meter dari rumah-rumah tetangga, mustahil mereka
mendengar jeritan Salamah.
Salamah baru tahu, sakit perut yang dideritanya itu
ternyata berkah. Perutnya melilit karena ditendangi jabang bayinya yang sudah
tak kerasan berlama-lama di dalam perut. Puas menendangi perut ibunya, jabang
bayi itu memaksa keluar sendiri, tak dibantu bidan atau dukun bayi.
Din, orang kiri-kanan rumah memanggilnya. Bukan ayahnya
yang menamai. Nama itu menceritakan bagaimana sejarah Din lahir, Mahar Din
lengkapnya.
Din, ibunya sendiri yang mengumandangkan andzan di kedua
telinganya. Ayahnya tak mau pulang untuk sekedar mengumandangkan adzan atau
memotong rambut Din pada hari ke tujuh kelahiranya.
Din sudah berumur tiga puluh lima hari, sudah bisa diajak
keluar rumah. Salamah mengemasi pakaian dan menguci pintu dari luar. Tekadnya
sudah bulat untuk kembali ke rumah orang tuanya, apapun resikonya.
Setengah hari penuh ia dan bayinya dikoyak mobil omprengan,
ditebari debu-debu beterbangan meyelip di pelupuk mata, asap rokok mengepul
pekat, diiringi gemuruh suara mesin tua, sejalan-jalan.
Din sampai di rumah kakek-neneknya. Kedatangan Salamah
disambut dengan kucuran air mata emaknya. Begitu mesra ia peluk emaknya.
Setahun lamanya ia tak pernah merasakan kehangatan tubuh emaknya.
Puas meguras air mata, sesimpul senyum nampak begitu ikhlas
dari wajah Salamah waktu emaknya menimang cucu hasil kawin larinya itu.
Kekhawatiranya selama perjalanan tadi terbantahkan dengan timangan itu. Ia dan
bayinya diterima dengan hangat.
Begitu lahap Salamah meyantap masakan emaknya. Belum juga
kenyang, seketika kunyahanya terhenti mendengar suara ribut dari ruang tamu. Ia
kenal betul suara itu. Nadanya khas, sama persis seperti suara yang ia dengar
setiap kali kena marah abahnya waktu masih perawan dulu.
“Anak siapa yang kau gendong itu?”
“Cucu kita Bah”
“Cucu, sejak kapan kita punya cucu?”
“Coba abah tengok ke belakang, siapa yang datang”
Laki-laki paruh baya itu meletakkan pecinya, lalu bergegas
ke dapur. Di dapatinya sesosok perempuan yang tak asing baginya, Salamah, putri
semata wayangnya yang setahun lamanya menghilang, seperti ditelan bumi.
Jidatnya seketika mengerut, mukanya merah padam, matanya yang juling melotot
lebar.
“Buat apa kau pulang? Apa laki-laki yang kau banggakan itu
tak mampu kasih kau makan?”, suara itu menggelegar keras, sambil tanganya
menunjuk-nunjuk muka Salamah.
Seketika Salamah tersungkur, berlutut, memegangi kaki
abahnya. Ditumpahkannya semua air mata yang bisa ia keluarkan, menangis
sejadi-jadinya.
“Ampun abah”
“Sejak kapan kau punya bapak?”
“Salamah khilaf”
“Kau tak khilaf, tapi tersesat. Kau sudah melumuri muka
orang tuamu dengan kotoran anjing”. Dihempaskannya tubuh Salamah yang masih
erat memeluk kedua kakinya. Salamah tersungkur ke tanah. Tangisnya pecah lagi.
Air matanya semakin deras mengucur, menetes di baju lusuhnya, menembus kulit,
tajam seperti peluru.
Emaknya tak tinggal diam mrelihat darah dagingnya yang
pernah dikandugnya sembilan bulan itu dianiaya, dihardik tanpa ampun.
“Istighfar abah! Bagaimanapun Salamah anak kita, darah
daging kita”. Diraihnya lengan Salamah, menyandarkan tubuhnya di kursi sembari
jari-jari lentiknya mengusap air mata yang tumpah belepotan di wajah Salamah.
“Sekarang kau habiskan nasi yang sudah kau sisai itu. Kalau
sudah kenyang kau boleh pergi”.
Salamah benar-benar mati kutu. Harapanya untuk memperbaiki
kesalahan pupus. Di otaknya sekarang, ia hanya akan menghabiskan sisa umurnya
dalam kutukan. Salamah tak bisa protes. Ia tak ingin lagi membantah bapaknya
seperti dulu, saat ia memilih kawin lari. Apapun yang dikatakan abahnya adalah
sabda, harus ditaati.
Sekarang bapaknya memerintahkanya menghabiskan sisa
makananya kemudian pergi. Ia harus patuh. Itu artinya ia harus meneruskan makan,
selesai itu ia harus angkat kaki.
“Salamah pamit sekarang mak”, ia meraih Din dari gendongan
neneknya.
“Tidak nak! Tinggallah sementara waktu sampai anakmu agak
besar”.
“Salamah tidak ingin membantah perintah abah lagi, Mak”
“Kalau kau memaksa pergi, biar anakmu tinggal di sini, emak
yang akan rawat”. Didekapnya cucu pertamanya itu.
“Tidak! Biar dibawanya pergi sekalian”, suara itu
menggelegar lagi, keras, jelas membredel gendang telinga.
“Abah tak kashian sama cucu kita?”
“Anak haram itu bukan cucuku”
Salamah meraih Din dari dekapan neneknya, menggendong tas
dan mulai melangkah keluar pintu. Tidak ada yang diucapkan Salamah, tidak pula
emaknya, sejak tadi terbungkam melihat anak dan cucunya semakin jauh melangkah.
Ia hanya bisa menagis untuk salamah, itu saja.
Setelah seharian berjalan puluhan kilo, sampai juga Salamah
di gubugnya. Badanya payah, lemah tak ada daya. Beruntung bayinya masih
terpulas tidur. Ia bisa istirahat, meletakkan kepalanya yang sejak tadi seperti
dipukuli dengan batu.
Mentari sudah menutup senja. Angin berhembus menelusup
lewat celah dinding papan yang sudah lapuk dimakan rayap. Hembusannya semakin
kencang, semakin dingin, terasa sampai ke tulang. Salamah masih terbaring di
ranjang kayu yang sudah mau roboh. Badanya menggigil kedinginan tapi suhu
badanya mengagah. Bibirnya pucat putih. Hidungnya mengalirkan cairan merah yang
sejak tadi tak juga berkenti.
Din menagis, mugkin ia lapar, mungkin juga kedinginan.
Seeratnya Salamah medekap Din, menyusuinya. Tapi Din masih saja menangis. Din
belum kenyang rupanya. Dari tadi tetek ibunya tak bisa keluar susunya.
Malam sudah larut. Angin tetap berhembus, semakin menusuk.
Badan Salamah panas-dingin. Sudah dua kali ia muntah. Yang kedua ini sedikit
bercampur darah. Salamah tak bisa apa-apa lagi. Sekujur badanya lemah tak ada
daya, ia sekarat.
Malam tinggal separo, bintang-bintang mulai berpamitan,
menghilang tanpa membawa sepatahpun harapan. Mungkin mereka tak melihat seorang
janda dalam baringan sakitnya melafal do’a, memanjatkan harapan agar sebelum
dipahatkan nisan, buah cintanya itu ada yang sudi merawatnya, menetekkanya,
mencucikan popoknya, sampai nanti Din bertemu dengan bapaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar