Cari Blog Ini

Minggu, 02 Juni 2013

makalah ushul fiqih


Tugas Semester         : Ushul Fikih
Dosen Pengampu      : Drs. H. Yasin, M.Ag
Nama                          : Nur Jannah
NIM                            : 211238
Jurusan                      : Syariah (Manajemen Bisnis Syariah)

1.      AL AMRU BIMA’NA AL NAHI

وَجَعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِهِ قُلْ تَمَتَّعُوا فَإِنَّ مَصِيرَكُمْ إِلَى النَّارِ [ إبراهيم : 30 ]
Orang-orang yang kafir itu telah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah (tandingan-tandingan) supaya mereka menyesatkan manusia dari jalan-Nya (agama Islam). KatakanlahBersenang-senanglah karena sesungguhnya tempat kembali kalianialah neraka." (QS. Ibrahim: 30).
Ayat ini menjelaskan tentang perangai kekafiran orang kafir yang setelah puas dengan nikmat Allah, mereka justeru kafir atas nikmat, dan menjadikan sekutu bagi Allah dengan menyembah berhala-berhala. Wajah kekufuran mereka ditegur oleh Allah dengan kalimat  تَمَتَّعُوا”, yang secara harfiah bermakna “bersenang-senanglah kalian”. Seolah kalimat ini memerintahkan para kafir Qurays untuk tenggelam menikmati kerlip duniawi dalam waktu yang sedikit. Namun sesungguhnya kalimat ini adalah larangan untuk tenggelam dalam kehidupan duniawi dengan kedzaliman dan kekufuran. Menurut At Thabari,  makna nahi ini tidak bermakna ibahah, pembolehan untuk melakukan sesuatu (bersenang-senang dengan kehidupan dunia), tidak pula amar agar mereka beribadah, melainkan teguran dan ancaman. Penafsirah imam At Thabari bahwa indikasi amar ini bermakna nahi ditunjukkan pada kalimat berikutnya yang berisi ancaman فَإِنَّ مَصِيرَكُمْ إِلَى النَّارِ, in sesungguhnya tempat tinggalmu di neraka. Kombinasi subsansial ayat ini adalah amar yang dikaitkan dengan ancaman, sehingga dapat dipahami bahwa amar ini sesungguhnya bermakna larangan[1].
Makna yang hampir serupa juga dapat kita temukan dalam redaksi hadits:
مَنْ كَذَبَ عَلَى مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barang siapa sengaja berbohong atasku (Muhammad), maka baiknya siapkanlah tempatnya di neraka” (Muttafaq Alalih)
Mahallusyahid dan inti poin pesan hadits ini adalah larangan berbohong atas atau mengatasnamakan rosulullah. Padahal, redaksi hadits ini menggunakan kalimat amar  فَلْيَتَبَوَّأْ. Pemaknaan amar ini menjadi kontraproduktif dari makna harfiahnya “maka siapkanlah”, menjadi makna larangan. Penggunaan tata redaksional hadits ini (dalam menyusun pesan larangan menggunakan kalimat amar), memiliki kesamaan dengan surat Ibrohim ayat 30 di atas. Namun, perbedaannya, pada surat Ibrohim, yang dimaksud dengan nahi adalah makna berbalik dari kalimat amar serupa yang (تَمَتَّعُوا) “bersenang-senanglah”, menjadi “jangan bersenang-senang”.
Persamaan kedua, kedua redaksi nash ini sama-sama menyusun amar (bermakna nahi) dengan komposisi kalimat amar yang disusul dengan ancaman.  Pada surat Ibrohim, “bersenang-senanglah” (sebagai amar ), dan “sesungguhnya tempatmu di neraka” (sebagai ancamannya). Sementara di hadits ini amar menggunakan kalimat “maka siapkanlah”, dan disusul dengan ancaman “tempatnya di neraka”.
Perbedaan yang mencolok  adalah, surat Ibrohim ayat 30 menggunakan makna amar “bersenang-senanglah” yang dimaksud adalah nahi yang berarti bermakna “jangan bersenang-senang”, namun pada hadits ini nahi yang dimaksud tidak pada kebalikan makna amar “siapkanlah”, melainkan nahi tentang khabar tindakan yang dijelaskan sebelumnya, “barang siapa berbohong atas namaku”. Sehingga diperoleh makna bahwa yang bermakna nahi adalah bukan kalimat amarnya, melainkan substansi dari keutuhan khabar tersebut, yakni berbohong atas nabi.

2.      PARADIGMA FIKIH RAMAH BUDAYA
Islam hadir dengan semangat yang meruang dan mewaktu, shalil likulli zaman wa makan. Dalam konteks fikih, Abdul Wahab Khalaf menegaskan “Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat, dan siatuasi (kondisi)”[2].
Meruang dan mewaktunya hukum memiliki pengertian bahwa pengambilan hukum, aktualisasi dan perkembangannya akan selalu menyesuaikan diri dengan kondisi sosio-kultural masyarakat. Secara ruang, dalam kasus  hukum yang masih dzanni al dilalah, dan tidak bersifat universal, sangat terbuka peluang untuk menyesuaikannya dengan pola kultural masyarakat setempat. Berbeda halnya dengan hukum dari nash yang memang bersifat qathi al dilalah, sehingga tidak mungkin menyesuaikan hukum wajibnya sholat atau tata cara sholat sesuai konteks indonesia atau sholat zaman modern. Dulu, hingga sekarang, di Makkah, Madinah, Indonesia, Amerika, sholat sama wajibnya, tata cara dan rukunnya pun sama.
Terbukanya peluang budaya berperan dalam andil pengambilan dan penerapan hukum adalah karena keberadaan nash yang masih dzhonni al dilalah. Sehingga, agar penerapannya sesuai dengan karakter masyarakat setempat atau pada kurun tertentu, hukum tersebut perlu dielaborasi dengan budaya setempat, tentunya budaya yang tidak menyimpang dari nash, meskipun ia tidak sama dengan budaya timur tengah, tempat di mana Al Qur’an turun dan hadits wurud.
Justeru kehadiran budaya ke dalam ruang istinbath nash dhanni berpeluang membantu, memudahkan pembumian hukum di lanskap kultural masyarakat, agar sesuai dengan kepentingan dan maslahat masyarakat setempat, sejauh kepentingan itu tidak melanggar qonun syar’I yang qoth’i. Paradigma ushul fiqih multikultural[3]  yang berupaya melahirkan kaidah dan rumusan fiqih yang sesuai dengan kepentingan kultural manusia yang berwawasan kemaslahatan. Chozin Nasuha mengatakan, sisi hukum Al Qur’an memiliki sisi kontekstualnya untuk diterapkan ke dalam kehidupan praksis[4].

Jilbab, Antara Syariat dan Budaya

Perdebatan penerapan istinbath dan penerapan hukum islam berbasis budaya lokal telah lama berkembang. Salah satu upaya kontekstualisasi nash dan konteks Indonesia semisal pada ayat-ayat jilbab:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْلأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْجَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُغَفُورًا رَحِيمًا
"Hai Nabi, Katakanlah kepadaisteri-isterimu, anak-anak perempuanmu danisteri-isteri orang mukmin:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnyakeseluruh tubuh mereka".yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untukdikenal, karena itu merekatidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagiMaha Penyayang." (Al Ahzab:59)
Jilbab konteks Arab dan negara Islam lainnya adalah wajib, dan itu harga mati. Selain itu, pemahaman tentang jilbab adalah pakaian yang menjuntai dari ujung kepala ke ujung rambut, longgar, sehingga sama sekali tidak sama dengan tradisi jilbab yang kita saksikan di Indonesia (terutama perempuan-perempuan dari golongan Nahdlatul Ulama’). Jilbab NU (meskipun tidak semua NU demikian, dan tidak hanya NU saja yang demikian), praktis, ringkas, dan terkadang berpakaian kebaya atau gamis yang mempertontonkan lekuk tubuh. Sama sekali berbeda dengan jilbab dalam imajinasi dan praktik perempuan-perempuan Arab, atau  di Indonesia biasa kita jumpai di kalangan masyarakat muslim seperti HTI dan sebagainya.
Di sini ada perbedaan cara memaknai jilbab ke dalam sehelai pakaian. Pakaian yang berbentuk seperti apa, seluas apa? Konteks Indonesia, Jawa misalnya, yang, budaya busananya masih mengakar budaya kebaya, mengkonversi makna jilbab ke dalam kebaya berkerudung. Pun, kerudung yang minimalis. Bahkan tempo dulu masih dapat ditemukan jilbab dengan model dada yang sedikit terbuka.
Menurut saya, ini adalah pemandangan yang akarnya adalah pertemuan antara nash dan budaya.

M Quraish Shihab, Jilbab dan Kerancuan Tafsir Budaya

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman tentang jilbab hanya di satu tempat, yaitu surat Al-Ahzab ayat 59. Karena itu, selanjutnya ia populer dikenal dengan ayat jilbab. Ayat yang dimaksud ialah:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59).
Dalam menafsirkan ayat di atas, M. Quraish Shihab memiliki pandangan yang aneh dengan manyatakan bahwa Allah tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab. Pendapatnya tersebut ialah sebagai berikut:
“Ayat di atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, karena agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kesan ini diperoleh dari redaksi ayat di atas yang menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah “Hendaklah mereka mengulurkannya.” Nah, terhadap mereka yang telah memakai jilbab, tentu lebih-lebih lagi yang belum memakainya, Allah berfirman: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.[5]
Demikianlah pendapat yang dipegang oleh M. Quraish Shihab hingga sekarang. Hal ini terbukti dari tidak adanya revisi dalam bukunya yang berjudul Tafsir Al-Misbah, meskipun sudah banyak masukan dan bantahan terhadap pendapatnya tersebut.
Selanjutnya, M. Quraish Shihab menyampaikan bahwa jilbab adalah produk budaya Arab dengan menukil pendapat Muhammad Thahir bin Asyur:
فنحن نوقن أن عادات قوم ليست يحق لها بما هي عادات أن يحمل عليها قوم آخرون فى التشريع ولا أن يحمل عليها أصحابها كذلك (مقاصد الشريعة ص 91)
Saya percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh—dalam kedudukannya sebagai adat—untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu[6].
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran dan Sunnah Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah surat Al-Ahzab (33): 59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan Jilbabnya. Tulisnya:
و فى القرآن: يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ " فهذا شرع روعيت فيه عادة العرب فالأقوام الذين لا يتخذون الجلابيب لا ينالهم من هذا التشريع نصيب " مقاصد الشريعة ص 19
Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu. Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.
Untuk mempertahankan pendapatnya, M. Quraish Shihab berargumen bahwa meskipun ayat tentang jilbab menggunakan redaksi perintah, tetapi bukan semua perintah dalam Al-Qur’an merupakan perintah wajib. Demikian pula, menurutnya hadits-hadits yang berbicara tentang perintah berjilbab bagi wanita adalah perintah dalam arti “sebaiknya” bukan seharusnya.
M. Qurash Shihab juga menulis hal ini dalam Tafsir Al-Misbah ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31. Di akhir tulisan tentang jilbab, M. Qurais Shihab menyimpulkan:
Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka “secara pasti telah melanggar petunjuk agama.” Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat[7].
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa M. Quraish Shihab memiliki pendapat yang aneh dan ganjil mengenai ayat jilbab. Secara garis besar, pendapatnya dapat disimpulkan dalam tiga hal. Pertama, menurutnya jilbab adalah masalah khilafiyah. Kedua, ia menyimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi dan bahwa Al-Qur’an tidak menyebut batas aurat. Ketiga, ia memandang bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama.
Menurut saya, letak keanehan pandangan Quraish Shihab adalah pada batasannya dalam mendefinisikan jilbab dalam konteks budaya dan seruan agama. Jelas dalam ayat disebutkan kalimat perintah, yang, mengarah pada penjelasan hukum wajib. Sementara yang disebut-sebut sebagai budaya Arab oleh Quraish Shihab menurut saya adalah jenis, warna, bentuk dan mode jilbab, bukan pada budaya memakainya. Jadi, orang Indonesia (meskipun bukan orang Arab), tetap wajib berjilbab. Persoalan warna, bentuk, mode, silahkan jika ingin menjadi Indonesia, sejauh syarat jilbab sebagaimana kriteria dalam nash terpenuhi.
Kasus cara pandang hukum jilbab sebagaimana Quraish Shihab ini memberi gambaran bagaimana pentingnya memahami budaya dan syariat secara utuh.





3.      HUKUM ISLAM INDONESIA, LEGAL FORMAL ATAU SUBSTANSIAL?
Berbagai penjelasan dalam al ahkam al sulthoniyyah, menegaskan bahwa hukum Islam di suatu masyarakat harus ditegakkan, sebagaimana praktik pada tempat nash diturunkan, Arab Saudi. Penjelasan ini merujuk pada ayat :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Standar keadilan dalam pengertian ulama fikih khalaf terutama ulama mutaqoddimin adalah sesuai dengan pesan nash secara sorih. Kondisi ulama salaf dalam bidang fikih cenderung didominasi oleh ulama timur tengah, sehingga produk pemikirannya (dalam masalah hukum yang pokok, bukan yang cabang: far’i)cenderung seragam. Misalnya kewajiban potong tangan untuk pencuri sejumlah satu nishab, rajam untuk zina muhson, hukuman mati pancung (bidhorbi unuqihi) untuk pembunuh. Namun, konteks Indonesia, koruptor puluhan milyar hanya dihukum 5 tahun, paling banter belasan tahun. Pemerkosa bahkan pemerkosaan dan pembunuhan hanya dihukum 20 tahun. Penggelembungan dana kelas kakap, karena besan presiden, berkantong tebal, banyak pendukung, dihukum bahkan lebih ringan dari maling ayam. Jelas, bahwa ada permainan yang tidak wajar dalam praktik ini. Dan, inilah sisi kelemahan hukum substansial yang diadopsi hukum konvensional Indonesia, yang, kata sebagian ahli hukum Islam kita, sudah mengakomodasi nilai syar’i. hanya kemasannya saja yang konvensional, namun ruh nya tetap syariah.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa hukum di Indonesia yang sampai sejauh ini masih sulit disusupi qonun syar’i itu cacat. Yang ingin saya tekankan di sini bahwa hukum buatan manusia, yang sifatnya dzhonni, jelas kalah jauh dibandingkan dengan hukum Allah dan rosulNya (maksud saya, hukum legal-formal Islam). Kekalahan ini menurut saya dalam sedikitnya tiga hal: (1) lemahnya legitimasi agama, karena bagaimanapun hukum Indonesia buatan manusia, meskipun ia diterjemahkan dari ruh keislaman. Lemahnya legitimasi ini menjadikan kekuatan hukum lemah di mata rakyat. Dari sinilah pelanggaran hukum menemukan alasan bagi masyarakat kita. Sebab, hukum yang harus ia patuhi, buatan manusia. Terlebih jika mereka tahu, bahwa kebanyakan hukum yang diadopsi di Indonesia adalah contekan dari negara-negara sekuler di barat, atau jika tidak, peninggalan rezim Belanda tempo dulu.
(2), hukum buatan tangan dan logika manusia mudah dipelintir. Ini terbukti dengan sengkarut hukum yang selama ini menghias media massa kita. (3), hukum konvensional tidak kesulitan dalam menjawab tantangan zaman dan demografi wilayah. Bukankah jika sama-sama hukum buatan manusia, seharusnya kita tidak mengadopsi hukum dari barat yang mereka adalah mayoritas nonmuslim, berbudaya yang sama sekali berbeda dengan budaya di Indonesia. Jika memang harus hukum manusia kita adopsi ke dalam hukum Indonesia, mengapa harus hukum barat, dan bukan hukum adat, yang, jelas-jelas itu produk Indonesia tulen?
Saya terkesima ketika beberapa minggu kemarin melihat salah satu as’ilah bahtsul masail di pesantren saya, yang akan dibahas di pesantren putra, pertanyaannya seperti ini[8]:
Di pemerintahan mempunyai suatu undang–undang yang mana digunakan agar tertatanya pemerintahan tersebut. Setiap periode, undang–undang tersebut selalu ada perubahan/penambahan. Seperti di periode 2008-2013, hukuman bagi orang yang membunuh adalah dipidana selama 8 tahun. Sedangkan Pemerintahan ditahun 2013-2018 hukuman bagi orang yang membunuh adalah 10 tahun pidana.
     Sebut saja si A, dia pernah  membunuh seseorang pada pemerintahan 2008-2013 dan dia menjadi buron karena dari pihak berwajib tidak kunjung  bisa menangkapnya. Walhasil, pada masa pemerintahan 2013-2018, si A berhasil tertangkap oleh pihak berwajib dan dihukum sesuai peraturan perundang–undangan yang sedang berlaku saat itu. Bolehkah  tindakan pihak berwajib (pemerintahan 2013-2018) menghukum si A atas tindakannya (membunuh) dengan peraturan undang–undang yang baru? padahal si A membunuh pada masa pemerintahan yang sebelumnya dan undang–undangnya pun juga tak sama.(PP. Mus-yq).
 Saya mencermati soal ini menimbulkan kesan yang “lucu” bagi praktik hukum di Indonesia yang konvensional atau bahkan cenderung sekuler ini. Bagaimana tidak? Hukum yang diciptakan oleh logika manusia, dari kepemimpinan yang satu ke pemimpinan yang berikutnya selalu berubah-ubah. Memang, dalam hukum Islam mengenal naskh dan mansukh , namun naskh dan mansukh hukum Islam karena pertimbangan Allah. Sementara ini, pembatalan hukum lama yang didasarkan pada keputusan pemimpin atau produsen hukum yang baru. Kesan yang saya rasakan dari pertanyaan ini, tentang hukum di Indonesia adalah betapa lemahnya hukum konvensional kita, sehingga ketika hukum tahun kemarin tak efektif (dalam kasus ini tak bisa membuat jera), ia harus dimodifikasi kembali. Ini menunjukkan bahwa hukum kita lemah.
Padahal, di Islam, pascra agama ini disempurnakan dan rosulullah wafat, tidak ada pembatalan hukum. Dari dulu hingga sekrang, pembunuh adalah dibunuh, koruptor dipotong tangan, pezina dirajam, dan seterusnya.
Menarik juga, setidaknya dilihat dari sudut pandang ini, ketika menyaksikan gerakan saudar-saudara kita di Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), atau nafas religi yang berembus di PKS, atau bahkan gerakan se ekstrim Negara Islam Indonesia (NII). Bagi banyak orang gerakan ini mungkin utopis. Namun, setidaknya mereka punya sisi idealisme, jika menghadap-hadapkan sengkarut hukum Indonesia (yang boleh dikatakan terseok-seok—untuk tidak mengatakan gagal), dibandingkan dengan imajinasi tentang Darul Islam yang semuanya serba teosentris.
Saya masih belum seutuhnya memahami mengapa sembilan kata pada rancangan Piagam Jakarta tempo dulu harus dihapuskan, dengan alasan toleransi kebangsaan untuk menjaga ukhuwah wathaniyyah. Sejauh pengalaman saya, bukankah ukhuwah Islamiyah jauh lebih didahulukan ketimbang yang kedua itu? Kemudian belakangan pasca reformasi, antar umat Islam saling adu jotos sendiri, salah satunya karena gagal duduk bersama membincang antara idealisme religius dan nasionalis yang belum usai itu.
Yang berwawasan nasionalis-religius mengatakan bahwa Pancasila adalah representasi dari ruh Islam yang dalam bahasa ushul fikih masuk dalam kaidah al ushul al khamsah. Sila pertama tentang ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah bentuk lain dari hifdz al din. Lantas mengapa kita terlarang oleh Undang-undang, mendakwahi (untuk masuk Islam) saudara sebangsa setanah air kita yang sudah beragama (selain Islam)?. Bukankah salah satu misi Islam adalah dakwah, dan pengertian hifdz al dien seluas-luasnya memasukkan di dalamnya dakwah kepada nonmuslim. Jelas ini kontraproduktif.
Golongan yang berwawasan nasionalis-religius juga beranggapan bahwa lebih baiknya konteks Indonesia adalah penyemaian ruh keislaman dalam hukum negara, baik itu Undang-undang, Kepres, Perda, secara substansil. Kemasannya tetap konvensional, namun ruhnya Islami. Lantas benarkah kita harus sependapat bahwa hukum penjara lima tahun untuk pencuri uang rakyat senilai sepuluh kali lipat nishab zakat, sebanding dengan hukum potong tangan yang shorih terpapar dalam redaksi Al Qur’an?
Alasan maa la yudroku kulluh, ya yutroku kulluhu, seolah menjadi argumentasi yang mumpuni untuk menjelaskan sengkarut hukum kita. Namun, jika kita menilik kembali kenyataan, bahwa hukum yang berdalih “karena tak bisa dicapai semuanya, maka tidak ditinggalkan semuanya”, hukum alternatif ini perlu dikaji kembali. Atau, bahkan penggunaan kaidah fikih untuk dalih pembela kegagalan islamisasi hukum di Indonesia ini perlu dikoreksi. Saya lebih sependapat  jika kaidah ini digunakan untuk melerai perdebatan antara mereka yang fanatik tarawih 20 rekaat dan fanatik 8 rekaat, dalil ini lebih pas, dan lebih dibutuhkan.
Saya teringat dengan narasi syair “al khairu kulluhu fil ittiba’ wa al syarru kulluhu fi al ibtida’”, jelas, bahwa hukum substansil di Indonesia ini adalah ibtida’ yang dasarnya perlu dikoreksi.


4.      PERNIKAHAN HALAL YANG DIHARAMKAN
Sungguh berani, batin saya, ketika mengetahui Majelis Ulama Indonesia bulat mengharamkan nikah sirri (nikah rahasia?). saya berpikir bahwa menikah sirri adalah istilah aneh buatan orang Indonesia saja. Fikih, terwakili oleh pemikiran ulama’ klasik, tak mengenal istilah sirri. Menikah adalah calon mempelai, wali, saksi dan akad, sah sudah. Lalu, di Indonesia, ditambah satu lagi, catatan sipil. Jadi haram menikah tanpa mendaftarkan diri ke Kantor Urusan Agama. Beruntung, MUI hanya mengeluarkan keharamannya, bukan mengeluarkan fatwa yang berisi nikah sirri tidak sah.
Sejauh pengalaman saya, hukum asal menikah adalah sunnah, kemudian menjadi mubah karena suatu kondisi atau alasan, begitupun menjadi makruh, wajib bahkan haram karena suatu alasan. Alasan keharaman yang dijelaskan di dalam kitab-kitab adalah ketika seorang menikahi dengan niatan buruk misalnya untuk merusak kehidupan pasangannya, penipuan, dan sebagainya. Jelas, alasan ushuliyahnya adalah kemaslahatan kedua mempelai.
Pada kasus nikah sirri, nikah tanpa catatan sipil, di mana letak alasan kemaslahatannya? Ternyata MUI dan beberapa golongan ulama mengendus praktik nikah sirri di Indonesia bermuara pada kerugian salah satu mempelai (biasanya isteri), karena hukum Indonesia tidak bisa menindak hukum yang berkaitan dengan pernikahan, jika tidak dibuktikan dengan surat nikah. Jadi, alat legitimasi hukum yang berkaitan dengan pernikahan (mengenai kewajiban nafkah, waris, dan sebagainya) digantungkan pada secarik buku nikah. Sementara di Islam, fungsi itu dipercayakan sepenuhnya pada saksi yang adil.
Persoalannya, Indonesia bersistim administratif. Sehingga, kedudukan catatan negara lebih kuat dibanding dua saksi yang bahkan kriterianya diatur dalam fikih (kriteria keadilan). Atau, memang ulama kita sadar bahwa Indonesia miskin kriteria saksi yang adil, sehingga keadilan itu dipindah fungsikan pada sistim cacatan hukum.
Yang pasti, banyak terjadi mudhorot dalam kasus nikah sirri. Al hasil, diketuk palu pengharaman nikah sirri. Tujuannya adalah agar kesaksian hukum pernikahan di mata negara diakui. Sehingga berbagai hal yang berkaitan dengan pernikahan, dapat diurus oleh negara. Termasuk di antaranya tanggungjawab nafkah anak-anak, sehingga andai terjadi nikah sirri yang tidak bertanggung jawab, akan semakin banyak anak-anak jalanan yang terlantar dan tak bermasa depan. Akan ada banyak pula isteri-isteri yang diterlantarkan oleh suami sirrinya yang tak bertanggungjawab, sementara negara tidak dapat berbuat apa-apa karena tak punya alat bukti (yang menjelaskan status hubungan mereka). Pertimbangan menghindari mafsadah (dar’ul mafasid) dan mengambil maslahat (jalbul mashalih) sangat kental dalam pengambilan hukum keharaman menikah ini.
Setelah mengetahui penjelasan ini, saya lebih dapat menerima keputusan MUI yang menuai perdebatan itu.



DAFTAR BACAAN

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada),
As’ilah Bahtsul Masail  se Jawa tengah di PP Darul Falah Jekulo Kudus, 1-2 Juni 2013.
Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, t.th.),
Chozin Nasucha, dalam Cik Hasan Bisri, Dkk. “Mengerti Qur’an: Pencarian Hingga Masa Senja, Pusat Penjamin Mutu dan Pascasarjana UIN Sunan Gunung Jati Bandung.
M. Quraish Shihab. 2003. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran Jakarta: Lentera Hati. Hlm 46
M. Quraish Shihab. 1998. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan. Hlmm 135
Muhammad Abu Ja’far At Thabari, Tafsir At Thabari , juz 17 hlm 11 (diakses dari Al Maktabah Al Syamilah) d4pmjfwx


[1] Lihat Muhammad Abu Ja’far At Thabari, Tafsir At Thabari , juz 17 hlm 11 (diakses dari Al Maktabah Al Syamilah)
تفسير الطبري - (ج 17 / ص 11
)وقوله( قُلْ تَمَتَّعُوا ) يقول تعالى ذكره لنبيه محمد صلى الله عليه وسلم : قل يا محمد لهم: تمتعوا في الحياة الدنيا وعيدا من الله لهم ، لا إباحَة لهم التمتع بها ، ولا أمرا على وجه العبادة ، ولكن توبيخا وتهددا ووعيدا ، وقد بَيَّن ذلك بقوله( فَإِنَّ مَصِيرَكُمْ إِلَى النَّارِ ) يقول: استمتعوا في الحياة الدنيا ، فإنها سريعة الزوال عنكم ، وإلى النار تصيرون عن قريب ، فتعلمون هنالك غبّ تمتعكم في الدنيا بمعاصي الله وكفركم فيها به.

[2] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), hlm..

[3] “Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh” dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, t.th.), hlm. 8-10;
[4] Chozin Nasucha, dalam Cik Hasan Bisri, Dkk. “Mengerti Qur’an: Pencarian Hingga Masa Senja, Pusat Penjamin Mutu dan Pascasarjana UIN Sunan Gunung Jati Bandung, Hlm 66-67.

[5] M. Quraish Shihab. 2003. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran Jakarta: Lentera Hati. Hlm 46


[6] Ibid
[7] M. Quraish Shihab. 1998. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan. Hlmm 135
[8] As’ilah Bahtsul Masail  se Jawa tengah di PP Darul Falah Jekulo Kudus, 1-2 Juni 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar