Cari Blog Ini

Minggu, 02 Juni 2013

makalah masail fiqhiyah

Nama : Nur jannah NIM : 211238 PACARAN DALAM PERSPEKTIF FIKIH A. PENDAHULUAN Pacaran adalah satu dari sekian problem religio-kultural yang menjangkit masyarkat kita. Tanpa menyebutkan fakta secara eksplisit, realitas pacaran telah dapat dengan mudah dijabarkan dalam ruang ilmiah, ia adalah konstruk problem laten dalam interaksi sosial. Disebut interaksi sosial karena pacaran tak mungkin melibatkan hanya satu orang. Popularitas kata pacaran sejauh ini menjadi kondisi strategis sekaligus potensi untuk tidak menjabarkan term pacaran lebih komprehensif dan utuh. Pengalaman empiri yang dimiliki kebanyakan manusia dewasa juga merupakan situasi strategis menghadirkan ruang perbincangan yang lebih substansial. Di tilik dari disiplin ilmu apapun, pacaran akan tampak menarik dan relevan untuk dibincang. Dari sudut analisis psikologi, realitas pacaran akan dapat dijabarkan ke dalam kecenderungan-kecenderungan seseorang untuk mencintai, melakukan aktifitas pacaran, hingga mengidentifikasi kepentingan, perilaku dan kecenderungan berprilaku dan dampak psikologis pacaran. Menjadi menarik ketika membincang fenomena tentang seseorang yang gagap berbicara di depan orang yang ia menyimpan kecenderungan batin padanya, disbanding dengan orang yang tak menghadirkan kecenderungan batin. Menarik pula ketika membincang situasi dan kondisi psikis seorang yang sedang jatuh cinta, sedang dilanda rindu bahkan sedang patah hati. Kecenderungan-kecenderungan psikis akan dapat dipelajari, dapat dianalisis masalahnya, untuk kemudian menemukan rumusan permasalahan dan memberikan solusi. Ini mungkin pekerjaan seorang Mike Rose yang mengaku sebagai pakar cinta di layar televisi. Tak kalah menarik ketika membincang pacaran dengan analisis sosiologi, dimana akan ditemukan kecenderungan-kecenderungan masyarakat menyikapi kecenderungan psikis untuk melakukan interaksi antarpersonal dengan seseorang yang memiliki ikatan batin. Bagaimana interaksi sosial yang terjadi antar pecinta dan yang dicintai, interaksi dengan orang tua, dengan masyarakat hingga cara pandang masyarakat terhadap realitas pacaran. Dan, tak kalah menarik, ketika berdialek tentang pacaran dengan sudut analisis keagamaan (dalam konteks ini adalah fiqh). Kecenderungan psikis dan sosiologis akan mendapatkan “porsi” bahasan masing-masing dalam ruang fiqh dan teologi. Sebelum sampai pada bahasan itu, bagaimana dialektika fikih berbicara tentang pacaran, setidaknya perlu merunut realitas objektif yang terjadi dalam ruang sosio-kultur untuk kemudian dikaji secara integral dengan basis religio-sosio-kultur, untuk kemudian menemukan rumusan yang apik. Realitas kebanyakan yang terjadi dalam “fenomena” pacaran adalah interaksi—psikis dan fisik—yang melibatkan dua orang atau lebih dan dilakukan dalam keadaan sadar. Pacaran tentu tak hanya dapat dikatakan dengan “bergandeng tangan” meskipun itu adalah sebuah indikasi fisis sebagai simbol pacaran. Pacaran ketiak dikaitkan dengan tuntutan teks agama, maka akan menempati dua posisi kontradiktif. Satu sisi pacaran diasumsikan sebagai perbuatan terlarang, sebab realitas kebanyakan, pacaran mengundang dampak negative yang tak hanya menyimpang ajaran agama, melainkan juga menciderai tata nilai kemanusiaan, budaya dan moral. Hamil di luar nikah atau lazim disebut Married By Accident, pergaulan bebas, yang kemudian mewabahkan AIDS, adalah dampak buruk pacaran. Sebaliknya, kecenderungan manusia juga tak bisa menmghindar dari fungsi pacaran _secara substansial—yakni mengenal lawan jenis yang akan dipilihnya menjadi pendamping hidup. Hajat ini tak dapat dimungkiri oleh manusia manapun, bahkan oleh nash, dengan bukti diperbolehkannya memandang wajah perempuan—yang asalnya adalah tidak diperbolehkan—menjadi boleh. Sama halnya dengan larangan melihat dan berbicara dengan perempuan yang diharamkan—tanpa kebutuhan mendesak—kemudian diperbolehkan dalam situasi “lighorodhi syariyyin” karena ada kebutuhan yang bersifat syar’I, di antaranya adalah saat melakukan transaksi jual beli dan saat mengajar –pelajaran yang mask dalam kategori ilmu hal. Dua realitas berikut konsekuensi hukumnya yang tampak kontradiktif ini menjadi rujukan critical thinking penting yang niscaya untuk dikaji. Bagaimana sebenarnya “kehendak” fikih membingkai masalah pacaran. Bagaimana fikih mengategorikan “hitam dan putih” nya pacaran, baik secara tekstual maupun kontekstual. Selain itu, pengertian dan unsur-unsur yang terkandung dalam pacaran, hukum pacaran dalam perspektif paradigma ulama salaf serta sebuah critical thinking dan rumusan permasalahan serta rekomendasi strategis yang dapat ditawarkan, penting dihadirkan dalam makalah ini. Ini adalah signifikansi utama yang akan dikaji dalam makalah sederhana ini. B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Pacaran Membincangkan kata pacaran seperti tidak butuh banyak penjelasan. Tanpa penjelasan ilmiah, tanpa data valid, dapat dipastikan semua orang telah memiliki konseptualisasi-yang beragam corak- tentang pacaran. Secara ideal-teoritik, pacaran sulit didefinisikan. Namun secara praksis, pacaran dapat dijabarkan dalam pengalaman empiri manusia. Sama halnya dengan cinta, istilah pacaran pun tidak ada yang baku semua orang berhak mendefinisikannya. Sudut pandangnya pun bermacam-macam. dari sudut pandang ideal, pacaran yaitu mewujudkan satu kesatuan cinta antara dua orang kekasih dalam bahtera rumah tangga. Sedangkan dalam tujuan pragmatis pacaran merupakan penjajakan antara individu untuk menjalin cinta kasih. Karena masih dalam tataran penjajakan arah dan tujuannya pun belum jelas. Definisi diatas kami rasa masih kurang dan belum dapat mencakup praktek pacaran. sedangkan menurut penulis pacaran yaitu hubungan antara dua lawan jenis atas dasar cinta tanpa bertensdensikan syara' dan pengakuan. Kami rasa apa yang kami definisikan dari pacaran tadi lebih mendetail dan mengwenai sasaran. Hubungan antara dua lawan jenis berarti menafikan hubungan yang terjadi antar sesama jenis ( gay dan lesbian). Atas dasar cinta berarti tanpa paksaan, bila ada paksaan berarti bukan dikatan pacaran. Tanpa bertensdensikan syara' berarti mengecualikan hubungan yang bertendensikan syara', misalnya pernikahan, dalam keadaan terpaksa atau unsur syara' yang lain. Adanya pengakuan berarti mwngecualikan hubungan secara sembunyi-sembunyi karena hal ini biasa disebut dengan selingkuh. 2. Unsur dalam Pacaran Ada banyak realitas yang terjadi dalam pacaran, sama halnya dengan unsure yang berliput dalam “ritual” pacaran. Setidaknya, pacaran melibatkan dua insan-baik sejenis maupun lawan jenis-, terdapat aktifitas-baik secara langsung maupun tak langsung-, terjalin hubungan interpersonal yang tumbuh dari perasaan-baik perasaan yang hakiki maupun kamuflase-, dan terjalin hubungan antarpersonal-baik hubungan fisik maupun nonfisik. Rumusan realitas ini jika dijabarkan dalam sebuah amsal konkrit, hubungan atas dasar kecenderungan interpersonal, didasari dengan kecenderungan perasaan, dan menjalin interaksi. Jika menyebutkan contoh yang lebih nyata, maka kisah romantik romeo dan Juliet setidaknya dapat dikatakan pacaran karena di antaranya terjadi interaksi antar personal, didasari kecenderungan batin dan terdapat aktifitas. Selain itu, kisah Rabiah al Adawiyyah dan Hasan Al Basri-terlepas dari benar salahnya-dapat juga dikatakan pacaran, karena di antara keduanya terdapat interaksi, aktifitas dan tumbuh dari kecenderungan batiniyyah. Pacaran memang sulit didefinisikan, namun setidaknya keyword yang dapat diterapkan untuk menandai term pacaran adalah kecenderungan batiniyah, interaksi interpersonal dan antarpersonal dan memiliki tujuan tertentu, dan yang terpenting, dilakukan dalam keadaan sadar. 3. Interaksi Batiniyah dalam Pacaran Seperti rumusan pengertian pacaran telah dijabarkan di atas, pacaran terjadi di bawah alam sadar manusia dan berawal dari kecenderungan batiniyah. Ini banyak dibahas dalam berbagai literatur kitab. Tidak akan ada habisnya membincangkan cinta. Ia akan selalu me-ngurai menjadi berbagai bahasan, melahirkan “tafsir” yang tak sama, dan mengundanag praktek yang bervariasi pula. Mengapa? Jawaban yang paling mendasar, barangkali karena setiap orang memahami cinta dengan cara yang berbeda, dengan kapasitas intelektual yang tidak sama, dan “mengamalkan” cinta dengan orientasi kepentingan yang majemuk, berbeda-beda. Barangkali ada yang mencintai orang lain karena kecantikannya, innerbeauty, kecerdasan, kekayaan atau alasan lain yang tak akan habis disebutkan dalam tulisan ini. Barangkali pula, setiap anak manusia meluapkan rasa cintanya dengan kepentingan yang tidak sama. Ada yang sebatas kesenangan nafsu semata, ada yang beralibi “karena Allah” dan ada pula yang memang mendedikasikan cinta hanya untuk pemilik cinta yang sesungguhnya, Allah Azza Wa Jalla. Lantas, bagaimanakah manajemen cinta yang sesungguhnya, mengingat metode setiap orang berbeda-beda. Bagaimana para ulama’ membincangkan kata “cinta”? Adalah kitab Sabilun Najah, salah satu kitab yang secara khusus meramu kata cinta ke dalam doktrin cinta. Oleh empunya, Imam Yusuf Bin Ismail An Nabhany, kitab ini disusun khusus untuk mendedahkan masalah cinta . Kitab ini berbicara tentang idealitas, bagaimana konsep cinta dalam nash (Al Qur’an-Hadits), juga bagaimana cinta dalam dataran faktualitas, bagaimana laku kehidupan manusia kebanyakan. Dalam kitab ini, Syaikh Yusuf banyak menjelaskan bagaimana hakikat cinta seperti tertera dalaml nash. Ia juga banyak menyebutkan nash-nash yang membicarakan cinta. Garis besar dalil yang disebutkannya, konsep cinta yang disebutkan adalah bagaimana seorang muslim saling mengasihi satu sama lain, namun dalam konteks kemanusiaan. Seperti disebutkan dalam hadits riwayat Bukhori-Muslim; tiga hal yang jika dimiliki seseorang, maka ia akan mereguk lezatnya iman. Pertama, ketika Allah dan rosulNya lebih dicintai dibanding lainnya. Ketika seorang tidak mencintai orang lain kecuali karena Allah. Ketiga, ketika seorang (yang telah masuk Islam) benci (kembali) kepada kekufuran sebagaimana ia benci jika dilemparkan ke neraka. Ini khazanah penting seputar cinta. Lebih kauh lagi, kitab ini membagi cinta menjadi empat kategori, di mana setiap kategorinya merupakan tingkatan cinta yang berbeda. Kategori pertama, adalah cinta kepada manusia (makhluk) karena dzatnya. Dalam artian, ia merasakan nikmat ketika melihat seseorang yang ia cintai, saat mendengar suaranya, saat bergaul dengannya, ia menemukan keindahan-kenikmatan. Cinta ini tumbuh Karena ada kecocokan dengan selera seseorang dikarenakan penampilan fisiknya, kecerdasan atau kesempurnaan akhlaknya. Cinta semacam ini tidak termasuk dalam kategori cinta karena Allah, melainkan cinta karena naluri dan lebih didominasi syahwat basyariyyah. Maka konsekuensinya, jika cinta ini disertai dengan maksud yang tercela, seperti ketika seorang mencintai karena kecantikan untuk memenuhi syahwatnya (yang tidak halal), maka cinta ini menjadi begitu hina. Jika cinta ini tidak disertai dengan delik seksualitas atau maksud buruk lain, maka hukumnya mubah, tidak terpuji dan tidak pula tercela. Kedua, mencintai dzat (makhluk) untuk memeroleh sesuatu (potensi) yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Dzat itu hanya menjadi perantara mencapai cinta yang lainnya, dan bukan dzat itu. Apabila cinta yang dimaksud hanya sebatas untuk kepentingan duania dan ia tidak mengharap sesuatu dari cinta itu kecuali kpentingan duniawi, seperti ketika seorang mencintai gurunya, maka cinta ini bukan termasuk dalam kategori cinta karena Allah. Karena sesungguhnya cinta murid kepada seorang guru adalah untuk mendaptkan ilmu. Maka sebenarnya yang ia cintai dan idamkan adalah ilmu. Apabila ilmu itu tidak dimaksudkan untuk kepentingan bertaqorrub kepada Allah, melainkan untuk kepentingan duniawi, maka sesungguhnya cinta itu adalah perkara duniawi. Sedangkan ilmu yang diperolehnya hanya sekadar wasilah untuk mencapai hal duniawi itu. Guru dalam kondisi ini hanyalah wasilah untuk mencapai ilmu itu. Maka, mencintai guru dengan alasan seperti itu tidak termasuk dalam kategori cinta karena Allah. Sebab, cinta semacam ini juga lazim dulakukan oleh orang yang tidak memiliki iman sekalipun. Ketiga, mencintai sesuatu/seseorang tidak karena dzatnya, melainkan karena satu hal yang sifatnya tidak duniawi, tapi ukhrowi. Ini seperti ketika seorang mencintai kyainya. Ia mengantarkan santri untuk memeroleh ilmu, memperbaiki amal dan tujuan ilmu dan amal itu adalah untuk keselamatan di akhirat. Kategori ketiga ini termasuk cinta karena Allah. Keempat, ketika seorang mencintai karena Allah, ia tidak memeroleh ilmu atau amal darinya, atau memeroleh sesuatu (potensi) yang ada dalam dirinya, inilah derajat cinta yang paling tinggi. 4. Unsur Maksiat dalam Pacaran 1) Pandangan mata pada ajnabiyah dan sebaliknya Termasuk salah satu maksiat mata adalah memandang ajnabiyah dengan tanpa Ada tujuan syara' seperti muamalah dan yang lainnya. Senada dengan pendapatdiatas sudah menjadi tradisi bahwasanya pacaran tidak dapat menghindarkan diri dari saling memandang yang sering kali membangkitkan gairah. Apakah mungkin seseorang yang pacaran dapat pacaran dengan menutup matanya. dari awal saling memandang ini pada umumnya akan menggerakkan syahwat apalagi untuk pasangan yang sama-sama masih muda dan bertenaga. Firman Allah yang artinya; katakanlah kwepasda orang laki-laki yang beriman "hendaklah mereka menahan pandangannya"(Q. An nur :30). Dalam sebuah riwayat nabi muhammad bersabda yang artinya: hai 'ali janganlah kamu ikuti satu pandangan (terhadap wanita) dengan satu pandangan yang lain, karwena yang pertanma itu tidak mengapa. (Riwayat yang lain menyebut itu swebagai nikmat Allah) sedangkan tidak boleh bagi (pandangan) yang kedua (abu dauds). Bukankah kehancuran Bani Israil –bangsa yang terlaknat– berawal dari fitnah (godaan) wanita? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Telah terlaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Nabi Dawud dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka bermaksiat dan melampaui batas. Adalah mereka tidak saling melarang dari kemungkaran yang mereka lakukan. Sangatlah jelek apa yang mereka lakukan.” (Al-Ma`idah: 79-78) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ “Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah memesona), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di atasnya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan umatnya untuk berhati-hati dari fitnah wanita, dengan sabda beliau: مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ “Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah (godaan) wanita.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Usamah bin Zaid) 2) Berentuhan atau berjabat tangan dalam praktik pacaran, selain pandangan mata, terdapat unsur maksiat lain yang mungkin terjadi. Adalah sentuhan, belaian atau sekadar jabat tangan. Ini dalam berbagai literasi kitab salaf dikategorikan sebagai mukaddimah zina . Adapun dalil yang mengharamkan jabat tangan dengan selain mahram, seperti dalam hadits rosulullah: لأن يطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لا تحل له Sungguh apabila kepala salah seorang di antara kalian ditusuk dengan jarum besi, hal itu lebih baik dari pada dia menyentuh perempuan yang tidak halal baginya. Al-Albani mengomentari bahwa hadits ini menjelaskan ancaman keras terhadap siapa saja yang menyentuh wanita bukan mahramnya. Di dalamnya terdapat dalil akan haramnya menjabat tangan kaum wanita, karena hal itu termasuk menyentuh tanpa ada keraguan. Dewasa ini banyak kaum muslimin yang melanggarnya, di antara mereka ada yang sekaliber ulama, seandainya mereka melanggarnya, akan tetapi hati mereka, maka permasalahannya menjadi lebih ringan. Akan tetapi yang jadi masalah mereka menghalalkanya dengan berbagai jalan dan penafsiran . Dalam hadits lain rosulullah bersabda: كتب على ابن آدم نصيبه من الزنا, مدرك ذلك لا محا لة. فالعينان زناهما النظر, والأذنان زناهما الاستماع, واللسان زناه الكلام, واليد زناها البطش, والرجل زناها الخطا, والقلب يهوي ويتمنى, ويصدق ذلك الفرج ويكذبه Telah pasti untuk anak Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan menjumpainya. Kedua mata berzina melalui pandangan. Kedua telinga berzina melalui pendengaran. Lisan berzina melalui pembicaraan. Tangan berzina dengan memegang. Kaki berzina dengan melangkah. Hati berzina dalam bentuk hasrat dan berangan-angan. Kemudian kemaluan akan membenarkannya atau mendustakannya. HR. Al-Bukhori dan Muslim, ini adalah lafadz Muslim. Hadits ini dalam pandangan An Nawawi merupakan penjelasan bahwa anak Adam telah ditakdirkan bagiannya dari zina, di antara mereka ada yang benar-benar berzina dengan cara memasukkan kemaluan kepada kemaluan yang tidak halal. Di antara mereka ada yang berzina secara kiasan, sepertidengan cara memandang sesuatu yang diharamkan, mendengarkan hal-hal yang menjerumuskan kepada perzinaan serta yang berhubungan dengannya, menyentuh dengan tangan dalam bentuk menyentuh tangan atau mencium wanita yang bukan mahramnya, berjalan kaki menuju perzinaan, melihat, menyentuh, atau bercengkerama dengan wanita yang mahramnya, serta semisalnya, dan termasuk juga memikirkannya dengan hati . Hadits lain yang senada dan saling menguatkan status hukum bersentuha atau memegang tangan ajnabiyyah di antaranya: إني لا أصافح النساء Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita (yang bukan mahram) Kesaksian sayyidah juga Aisyah menyatakan bahwa rosulullah tak pernah menyentuh tangan perempuan kecuali yang beliau miliki (isteri beliau). Ini diriwayatkan oleh bukhori dan at turmudzi dalam lafadz : ما مست يد رسول الله يد امرأة إلا يملكها Tangan Rosululloh tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun, kecuali yang beliau miliki (nikahi dll). HR. Al-Bukhori dan at-Turmudzi . Abdulloh bin ‘Amr bin al-’Ash menyatakan : كان لا يصافح النساء في البيعة Adalah Rosululloh tidak menjabat tangan wanita (yang bukan mahramnya) ketika bai’at . Dari abu umamah, nabi Muhammasd SAW bersabda,yang artinya: " seorang laki-laki yang bersenggolan dengan seorang babi lebih baik baginya dari pada bahunya yang berswenggolan dengan wanita yang tisdak halal baginya (thabrani)". Sesdangkan hokum berjabat tangan dengan cewek yang susdah besar tanpa penghalang hukumnya haram mutlaq. Hadits di atas memberikan indikasi kuat dan tak terbantahkan bahwa menyentuh atau berjabat dengan seorang yang bukan mahram adalah sebuah perbuatan dosa, larangan. Sebab, rosulullah tak pernah melakukannya. Maka wajib bagi kita untuk tidak berjabat tangan dengan kaum wanita bukan mahramnya, sebagai perwujudan sikap peneladanan kita kepada Rosululloh. Bahkan tindakan Beliau yang tidak menjabat tangan kaum wanita ketika baiat, merupakan dalil yang begitu jelas tentang tidak bolehnya seorang lelaki berjabat tangan dengan wanita bukan mahramnya, dan tidak boleh bagian tubuh seorang lelaki menyentuh bagian tubuh wanita bukan mahramnya, karena jenis sentuhan yang paling ringan adalah berjabatan tangan. Apabila Beliau tidak mau melakukannya di saat yang sebenarnya diperlukan jabat tangan (yakni: ketika bai’at), maka hal itu merupakan bukti bahwa perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan. Dan tidak seorang pun yang berhak menyelisihi Beliau, karena Beliaulah yang membuat aturan bagi umatnya, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan . Menguatkan sekaligus menjabarkan substansi kandungan hukum dalam nash di atas, kaidah “Dar’ul Mafasid muqoddam ala Jalbil masholih , menjadi berlaku. Begitu banyak dalil nash dan rasio yang dapat diungkapkan untuk mendedah dan menguatkan status hukum haram berjabat tangan atau menyentuh perempuan. Yang paling intens membincang tema ini adalah kitab Adillah Tahrimi Mushofahah al-Ajnabiyyah karya Muhammad Ahmad Ismail al-Muqoddam. Dalam kitab ini dijelaskan, alasan terpenting di luar pesan nash adalah kaedah :”Menutup pintu-pintu kemungkaran”. Artinya, menyentuh atau berjabat tangan adalah berpeluang menjerumuskan pada zina yang lebih berat . Dalam bahasa fikih klasik disebut “madzinatu al Zina. Pendapat Para Ulama Madzhab. Mayoritas ulama sepakat akan tidak bolehnya berjabat tangan dengan kaum wanita bukan mahramnya, berikut ini uraian pendapat-pendapat mereka : Madzhab Hanafi. • Al-Kaasaani menjelaskan bahwa hukum menyentuh dua anggota badan perempuan (tapak tangan dan wajah wanita yang bukan mahramnya), adalah tidak halal. Karena hukum bolehnya melihat dua anggota badan tadi adalah karena keadaan darurat, yakni untuk kepentingan maslahat nikah. Sedangkan dalam hal ini tidak ada sikon darurat untuk menyentuh (wanita yang bukan mahramnya). Padahal, menyentuh lebih berpotensi untuk membangkitkan nafsu syahwat dari pada sekedar melihat. Pembolehan perkara yang lebih ringan dari dua perkara, tidak menyebabkan perkara yang lebih berat menjadi boleh . Madzhab Maliki. • Abul Barokaat, Ahmad bin Muhammad bin Ahmad ad-Dardiir menjelaskan : Dan tidak boleh berjabat tangan dengan wanita (bukan mahramnya), meskipun kaum lelaki sudah tidak berselera kepadanya . Madzhab Syafi’i. • An-Nawawi menyatakan : Dikarenakan memandang (wanita yang bukan mahramnya) diharamkan, maka menyentuhnya lebih pantas untuk diharamkan, karena terasa lebih nikmat . • Ibnu Hajar menjelaskan : Di dalam hadits ini, ada larangan menyentuh kulit wanita yang bukan mahramnya tanpa ada sikon darurat yang membolehkannya . Madzhab Hambali. • Al-Imam Ishaq bin Manshuur al-Maruzi menceritakan : Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hambal : Apakah anda membenci jabat tangan dengan kaum wanita (bukan mahram)? Ahmad menjawab : Aku membencinya . Kesimpulannya, tidak ada satu hadits shohih pun yang menyebutkan bahwa Nabi pernah berjabat tangan dengan wanita bukan mahramnya, bahkan ketika membaiat mereka, apalagi ketika hanya sekedar bertemu. Adapun sebagian orang yang berdalil dengan hadits Ummu ‘Athiyyah untuk membolehkan jabat tangan dengan wanita bukan mahramnya (padahal didalamnya tidak disebutkan jabat tangan), kemudian mereka berpaling dari hadits-hadits shohih yang menyebutkan sucinya beliau dari berjabat tangan dengan wanita bukan mahramnya, maka pasti hal ini bukan muncul dari seorang beriman dengan ikhlas, terlebih lagi ada ancaman yang keras terhadap siapa saja yang menyentuh wanita bukan mahramnya, sebagimana hadits . Syubhat dan Bantahannya. Sabda Nabi bahwa beliau tidak menyalami perempuan dimengerti sebagian kalangan sebagai nash yang tidak secara shorih dan mutlak menjelaskan larangan jabat tangan dengan perempuan bukan mahram. Hal ini karena disandarkan dengan konteks baiat saja. Ini adalah persangkaan yang lemah, karena kaidah para ulama menyatakan, bahwa sebab khusus (suatu dalil) tidak diperhitungkan, selama lafadznya bersifat umum, dan inilah keadaan sabda Nabi tersebut di atas, maka keharaman jabat tangan dengan wanita (bukan mahramnya) berlaku mutlak. Bahkan dalil-dalil yang melarang jabat tangan ketika baiat memberikan pengertian lain yang lebih kuat, yaitu : Kalau saja ketika baiat Beliau tidak menjabat tangan kaum wanita padahal secara asal, baiat itu dengan tangan dan berjabat tangan, maka jabat tangan dengan wanita di luar itu lebih pantas untuk dilarang . Tersebarluasnya jabat tangan dengan wanita bukan mahram, bukan keadaan darurat sebagaimana persangkaan sebagian orang. Karena kebiasaan masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk merubah hukum yang telah tetap berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Hukum yang bisa dirubah oleh kebiasaan masyarakat adalah hukum yang dasarnya adalah adat istiadat masyarakat, sehingga akan berubah sesuai dengan adat istiadat masyarakat . Syariat yang suci melarang suatu perbuatan yang bisa menimbulkan kerusakan tanpa memperhitungkan niat pelakunya, karena yang dinilai adalah akibat perbuatan tersebut. Selama akibatnya buruk, maka perbuatan yang menyebabkannya dilarang (karena dinilai buruk juga). Hal ini sebagai upaya menutup pintu kerusakan, meskipun pelakunya tidak bermaskud melakukan kerusakan tersebut. Apabila telah diketahui bahwa tujuan dan niat itu tersembunyi, maka yang tepat adalah tidak memperhitungkannya, karena niat tidak ada standartnya, dan yang diperhitungkan hanyalah yang jelas standartnya. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan , sebab-sebab ini, apabila secara umum akan menimbulkan perbuatan haram, maka syariat mengharamkannya secara mutlak. Demikian juga apabila terkadang menimbulkan perbuatan haram dan terkadang tidak, akan tetapi tabiat manusia cenderung terjerumus didalamnya. 3) Ikhtilat, Khalwat dan Zina Badan a) Ikhtilath Ikhtilath (campur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram), pergaulan bebas, dan pacaran adalah fitnah (cobaan) dan mafsadah bagi umat manusia secara umum, dan umat Islam secara khusus, maka perkara tersebut tidak bisa ditolerir. Maka, pacaran berarti menjerumuskan diri dalam fitnah yang menghancurkan dan menghinakan, padahal semestinya setiap orang memelihara dan menjauhkan diri darinya. Ikhtilath, bercampur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhkan umatnya dari ikhtilath, sekalipun dalam pelaksanaan shalat. Kaum wanita yang hadir pada shalat berjamaah di Masjid Nabawi ditempatkan di bagian belakang masjid. Dan seusai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiam sejenak, tidak bergeser dari tempatnya agar kaum lelaki tetap di tempat dan tidak beranjak meninggalkan masjid, untuk memberi kesempatan jamaah wanita meninggalkan masjid terlebih dahulu sehingga tidak berpapasan dengan jamaah lelaki. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Al-Bukhari. Begitu pula pada hari Ied, kaum wanita disunnahkan untuk keluar ke mushalla (tanah lapang) menghadiri shalat Ied, namun mereka ditempatkan di mushalla bagian belakang, jauh dari shaf kaum lelaki. Sehingga ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam usai menyampaikan khutbah, beliau perlu mendatangi shaf mereka untuk memberikan khutbah khusus karena mereka tidak mendengar khutbah tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرِهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا “Sebaik-baik shaf lelaki adalah shaf terdepan dan sejelek-jeleknya adalah shaf terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf terakhir, dan sejelek-jeleknya adalah shaf terdepan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal itu dikarenakan dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki sehingga merupakan shaf terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti peredaran darah . Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya? . Padahal wanita para shahabat keluar menghadiri shalat dalam keadaan berhijab syar’i dengan menutup seluruh tubuhnya –karena seluruh tubuh wanita adalah aurat– sesuai perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31, tanpa melakukan tabarruj karena Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka melakukan hal itu dalam surat Al-Ahzab ayat 33, juga tanpa memakai wewangian berdasarkan larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya : وَلْيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ “Hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang siapa saja dari mereka yang berbau harum karena terkena bakhur untuk untuk hadir shalat berjamaah sebagaimana dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 53: وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ “Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan) kepada mereka (istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka mintalah dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu kalian dan kalbu mereka.” Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka berinteraksi sesuai tuntutan hajat dari balik hijab dan tidak boleh masuk menemui mereka secara langsung. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Maka tidak dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi para shahabat dan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak tertentu saja tanpa dalil . Pada saat yang sama, ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yang menjerumuskan mereka untuk berpacaran, sebagaimana fakta yang kita saksikan berupa akibat ikhtilath yang terjadi di sekolah, instansi-instansi pemerintah dan swasta, atau tempat-tempat yang lainnya. Wa ilallahil musytaka (Dan hanya kepada Allah kita mengadu) b) Khalwat, Yaitu berduaannya lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ “Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita.” Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata: “Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami? ” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka adalah kebinasaan.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ “Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma) Hal itu karena tidaklah terjadi khalwat kecuali setan bersama keduanya sebagai pihak ketiga, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ahmad) c) Zina Badan Disebutkan oleh Rasulullah dalam hadits Abu Hurairah: كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ “Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.” Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata . Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga. Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu. Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan . Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً “Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra`: 32) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حِدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ “Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya. ” Meskipun sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ “Tidak. Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita (selain mahramnya), melainkan beliau membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” (HR. Muslim) Demikian pula dengan pandangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat An-Nur ayat 31-30: قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوْجَهُمْ – إِلَى قَوْلِهِ تَعَلَى – وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ … “Katakan (wahai Nabi) kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari halhal yang diharamkan) –hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari hal-hal yang diharamkan)….” Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اصْرِفْ بَصَرَكَ “Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.” Adapun suara dan ucapan wanita, pada asalnya bukanlah aurat yang terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara lebih dari tuntutan hajat (kebutuhan), dan tidak boleh melembutkan suara. Demikian juga dengan isi pembicaraan, tidak boleh berupa perkara-perkara yang membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena bila demikian maka suara dan ucapannya menjadi aurat dan fitnah yang terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا “Maka janganlah kalian (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berbicara dengan suara yang lembut, sehingga lelaki yang memiliki penyakit dalam kalbunya menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf (baik).” (Al-Ahzab: 32) Adalah para wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sekitar beliau hadir para shahabatnya, lalu wanita itu berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepentingannya dan para shahabat ikut mendengarkan. Tapi mereka tidak berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan suara. Melakukan Perjalanan Bersama (Berdua) Perjalanan bersama ini merupakan suatu perjalanan yang menghawatirkan karena disini dua insan tadi akan lebih bebas dan di luar kendali, dari keluarga maupun kerabat sehingga mereka akan lebih leluasa dalam bertindak yang sampai melampui batas. Bukan cerita novel atau film ditelevisi bahwa pelecehan sexsual yang sering diberitakan di media massa bukanlah suatu kebetulan saja dsisitu bukan hanya karena ada kemauan tapi juga ada kesempatan. dalam kejasdian ini tisdak hanya mwenyalahkan salah satu belah pihak saja kami rasa kedua-duanya bwertanggung jawab dan bisa jadi keluarganya dan masarakatnya pun ikut bersalah karena mereka membwerikan peluang dan kesempatan untuk terjasdinya hal yang tidak dinginkan. Tabarruj Tabarruj adalah berhias dengan tujuan bukan menyenangkan suami melainkan orang lain dan kebiasaan yang terjadi dikalanagn wanita, cenderung berlebihan sehingga cenderung kepada bersikap ria'. Tidak dapat dipungkiri seorang cewek yang bersolek dengan begitu aduhai seringkali dapat menggerakkan birahi pacarnya. Firman Allah yang artinya : dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah yang terdahulu (Q. Al Ahzab 23). Ini adalah yang menjadi lansdasan dalam pensdapat kami. Mengumbar Nafsu dari semua uraian di atas mungkin inilah tujuannya dari mulai melihat, bersentuhan, berduaan, dan bepergian bersama. Hampir dapat dipastikan dari kejadian-kejasdian di atas ada usaha untuk mentransfer nafsu. Setelah mengupas unsur-unsur yang terdapat dalam pacaran kurang bijak rasanya apabila kami melegalakan pacaran, dalam arti lain secara tegas kami katakan pacaran haram hukumnya apabila ada unsur-unsur yang seperti di atas. Dalil yang digunakan adakah surat Al-isra' ayat 32. 5. Critical Thinking: Membedakan Pacaran Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena saling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda: أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ “Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim) Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.” Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan khusus Memilah pacaran dari lingkar definisi ini tentu tak mudah. Akan muncul banyak amsal yang mengidam klasifikasi yang berbeda. Tentu tidak dapat dianggap sama, metode pacaran legendaries antar romeo dan Juliet disbanding dengan rabiah dan hasan basri. Maka pemilahan ini akan bermuara pada satu pertanyaan sederhana, bagaimana pacaran dapat diklasifikasikan? Pertanyaan ini akan menjadi lebih beruntun ketika realitas pacaran ini dikaitkan dengan dogma agama-dan yang paling intens membatasi ruang gerak wilayah ini adalah Islam. Asumsi pembatasan ruang gerak ini berangkat dari teks nansh yang melarang manusia mendekati zina. Sejauh pengalaman penulis, belum ditemukan nash shorih yang menjelaskan kebolehan atau ketakbolehan pacaran. Determinasi dogma fiqih yang selama ini berkembang, baik fikih klasik maupun kontemporer memandang pacaran dari sudut penalaran analogi, di mana realitas interaksi –interpersonal dan antarpersonal-dikaitkan dengan maksud kontekstual teks yang melarang mendekati zina itu. Ketika ayat “wala taqrabu al zina” dimaknai secara tekstual, maka ia akan berbunyi “dan janganlah kamu mendekati zina”. Namun, jika teks ini dibaca secara substansial dengan alat analisis metode analogi teks-dan diintegralkan dengan realitas, maka diperoleh pengertian bahwa perbuatan yang masuk dalam kategori “mendekati zina” adalah haram. Term mendekati zina ini adalah teks yang masih umum, dalam bahasan ushul fiqh disebut nash am. Menemukan nash model ini, maka produk hukum tak dapat dipetik langsung dari nash. Ia masih butuh proses interpretasi, analisis dan riset untuk mencapai konglusi. Sejauh ini berkembang, dogma fiqih mengatakan bahwa pacaran adalah haram –dan sebagian besar mengharamkan secara mutlak. Ini diambil dari kemutlakan dalil yang menyebutkan ‘jangan mendekati zina”, yang tak dibubuhi dengan pengecualian apapun. Teks ini tentu berbeda dengan bunyi teks perintah zakat, yang diteruskand dengan teks lain yang menjelaskan, zakat wajib bagi orang yang mampu. Struktur istinbath tekstual seperti ini yang kemudian bermuara pada satu rumusan, pacaran diidentifikasi sebagai “perbuatan” yang haram secara mutlak, tanpa memandang konteks realitas. Dogma seperti ini tentu terkesan menjadi imperative dan bagi sebagian kalangan bahkan kontradiktif jika dibenturkan dengan kecenderungan kebutuhan masyarkat umum yang menghendaki “masa penjajakkan” sebagai masa penting untuk memilih jodoh terbaiknya. Argument lain yang acapkali muncul, bahwa ketika sebuah larangan berbenturan dengan sebuah kepentingan yang mendesak-dalam bahasa ushul disebut hajat atau bahkan dhorurot-maka konsekuensi tekstual itu menjadi longgar karena bertemu dengan realitas kontekstual yang tak dapat ditanggulangi. Dalil yang berlaku untuk argument ini adalah, hukum melihat perempuan yang “diinginkan” untuk dijadikan isteri—dalam bahasa fiqh dikenal al azmu ala al nikah—maka hukum nadzhor yang semula haram menjadi mubah. Ini karena dalam praktik, manusia memiliki kecenderungan dan kepentingan mendesak yang dalam istilah fikih disebut “hajat”. C. KESIMPULAN 1. pacaran adalah hubungan antara lawan jenis yang atas dasar cinta , tanpa berdasarkan syara' dan ada pengakuan. 2. unsur-unsur pacaran: pandangan, bersentuhan, berduaan, tabarruj,bepergian bersama, transfwer nafsu asdalah tujuan akhirnya 3. Hukum pacaran adalah haram setelah melihat, menimbang dan menimang unsur-unsur di atas. 4. menikah adalah solusi yang paling baik D. Rekomendasi Strategis Tanpa mengesampingkan kecenderungan muara dogma fikih dan kecenderungan manusia dalam konteks pacaran—atau dalam bahasa lain, taaruf—pemakalah menawarkan rekomendasi strategis untuk dapat memosisikan diri dalam ruang kontradiktif antar ajaran dan kebutuhan, di antaranya: Seseorang yang hendak berpacaran atau bergaul dengan lawan jenis harus menjauhi unsur-unsur muharromat yang telah disebut di atas 1. Menjaga pandangan, ghoddul bashor terhadap lawan jenis. 2. Melihat lawan jenis dengan tujuan mengajar atau ta'lim diperbolehkan. 3. Apabila seseorang mengenal wanita maka ia harus benwer-benar mempunyai niat ingin mengenalnya karena ingin mengwenalnya mungkin inilah yang dikatakan ta'aruf atau tahap pengenalan. 4. Lebih baik seserong segera menikah apabila ia sudah siap karena ini merupakan benteng dari fitnah yang bisa timbul. 5. Bila ingin memilih pasangan hendaknya sesuai dangan hadis nabi E. REFERENSI ______________Adhwaaul Bayaan . Beirut: Dar Al Fikr Juz 6 an-Nawawi. al-Minhaj. Beirut:Daar Al Fikr. Tt. An Nawawi.Roudhotuth Thoolibiin. Daar AL FIkr:Beirut. Juz 7. Al Anshory. Al Asybah Wa Al Nadhoir. Beirut:Daar Al Fikr. Albaijuri Ibrohim , hasyiah baijuri, al alawiyah semarang. AL Bukhori. Shohih AL Bukhori. Daar Al Fikr: Beirut. Juz 5 ______________Badai’ush Shonaai’ . Juz 6. ___________Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, ______________Shohihul Jami’ (4732) Himawan Anang haris , rahasia-rahasia pwengantin, jp books Surabaya. I’anah Al Thalibin, bandingkan dalam al Bajuri, juz 2. Ibnu Hajar Haitami..Fathul Bari.Daar Al Fikr:Beirut.Juz 13. Ibnu Taimiyyah. al-Fatawa al-KubroJuz III. Ibnu ‘Utsaimin Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh, syarah hadits no. 16 22 Ibrohim al baejuri, Hasyiah bawejuri, al Alawiyah Semarang, juz 2 Muhammad bin salim, is'asdu arrofiq, alhidayah, Surabaya. Muhammasd bin salim, Is'asdu arrofiq, Alhidayah, Surabaya, , juz 2 Muhammad Ahmad Ismail al-Muqoddam .Adillah Tahrimi Mushofahah al-Ajnabiyyah . Beirut: Dar Kutub Ilmiyah. Muhammasd nawawi, Qutu al ghorib, Haromin jaya, Indonesia, 2005, Muhammad sarbini, Hamis iqna', Toha putra Semarang ____________Masail Ahmad wa Ishaq (211/1) dinukil dari ash-Shohihah. no.(529). Nawawi muhammad , 2005Qutu al ghorib Haromin Jaya, Insdonesia,. Sarbini Muhammad , hamis iqna', toha putra semarang Yusuf Bin Ismail An Nabhani. Sabilun Najah. Toha Putra: Semarang. T.t.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar