Cari Blog Ini

Senin, 10 Juni 2013

Dala’il Khairat; Bukan Selawat Matre!


Dala’il Khairat; Bukan Selawat Matre!

Sopo wonge duwe hajat, dikebuk Dala’ile, qabul hajate” (barang siapa memiliki hajat, wiridlah shalawat Dala’il Khairat, maka akan terkabulkan hajatnya).  (Dawuh hadrotus syaikh KH. Ahmad Basyir)
Dawuh ini masyhur di kalangan santri pengamal puasa Dala’il Khairat. Saking masyhurnya, ragam warna tafsir bermunculan. Setiap santri pengamal memiliki tafsirnya sendiri. Mungkin, di antara ribuan pengamalnya, ada sebagian yang memahami bahwa Dalail Khairat adalah riyadhah pemikat rejeki.  Jika benar ada, pemahaman ini perlu diluruskan. Mari kita bermusyawarah di tulisan yang dha’if ini.
Sopo wonge duwe hajat, diwirid Dala’ile, qabul hajate”, adalah benar adanya. Dalam pembukaan kitab Dalail Khairat yang beliau tashih, Syaikh mengutip hadits yang yang sangat masyhur:
مَنْ عَسُرَتْ عَلَيْهِ حَاجَةٌ فَلْيُكْثِرْ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيَّ فَإِنَّهَا تُحِلُّ الْعَقْدَ وَتُكْشِفُ اْلهُمَّ وَاْلحَزْنَ وَتُكْثِرُ اْلأرْزَاقَ
“barang siapa mengalami kesulitan, maka perbanyaklah berselawat atasku (Nabi), sesungguhnya selawat mempermudah kesulitan dan memperbanyak rizki”.
 Menurut Al Shuyuthi, bahwa selawat kita atas nabi adalah sabab (faktor) dibukakannya pintu rejeki dan semua hajat yang disebutkan dalam hadits tersebut. Sedangkan terwujudnya berbagai hajat ini murni atas izin, kuasa, kehendak dan fadhal dari Allah. Dikuatkan penjelasan Syaikh Muhammad Bin Alawy Al Maliky atas pendapat Ibnu Qayyim dan al Hafidz Ibnu Hajar, bahwa selawat kepada rosulullah adalah salah satu faktor (sabab) terkabulnya berbagai hajat (Syarof Al Ummah Al Muhammadiyyah: 186).
Selain persoalan rezeki, ada beberapa faedah yang lebih tinggi dari membaca selawat; pertama, bentuk kepatuhan atas perintah Allah. Kedua dan ketiga, mencontoh sebagaimana Allah dan para malaikat juga berselawat atas Kangjeng nabi, meskipun selawat kita berbeda dengan selawat Allah dan malaikat. Kata Imam As Sya’rowi dalam tafsirnya, selawat kita adalah sebentuk istighfar, sementara selawat dari Allah adalah pujian (tsana’) dan pemulyaan (tasyrif) kepada rosulullah, dan selawat dari malaikat adalah do’a.
Karena selawat adalah rahmat dan tasyrif dari Allah kepada kangjeng Nabi, sehingga selawat kepada rosulullah tidak akan gugur oleh apapun, bahkan seandainya selawat itu ditujukan untuk riya’ sekalipun. Imam Abu Ishaq Al Syathibi adalah salah satu dari jumhur ulama’ yang mengukuhkan pandangan ini.
Karena selawat diterima (maqbul) secara pasti, tanpa syarat dan embel-embel apapun (qoth’an), sehingga sah dan masuk akal, berselawat untuk kepentingan apapun, pasti diterima, termasuk andai selawat itu ditujukan untuk memikat rejeki. Logikanya, jika untuk pamer (riya’) saja diterima, apalagi jika hanya diniatkan untuk memikat rizki. Padahal jelas dalam hadits rosulullah memberi kabar gembira bahwa siapa saja di antara orang mukmin yang mau berselawat, maka kesulitan hidupnya akan dimudahkan, apapun itu.
Artinya, seumpama seseorang berselawat untuk kepentingan hasrat duniawi, dalam contoh yang lebih jelas: “aku berselawat, agar menjadi kaya, punya ini dan itu,” misalnya,  ini sah-sah saja, dan tidak ada yang salah. Setidaknya karena dua alasan; pertama karena selawat adalah ibadah tanpa syarat pun tanpa qoyyid (embel-embel): “harus ikhlas”.  Kedua, karena jelas ada nash hadits yang secara shorih menyebutnya, “barang siapa yang mengalami kesulitan hidup, maka berselawatlah atas aku”.
Untuk menjelaskan intisari hadits ini, tentang bagaimana selawat dapat menjadi pemikat rejeki, menghilangkan kesulitan hidup, atau bahkan bagaimana selawat merupakan “tabungan” syafaat di hari qiyamat kelak, mari kita pinjam pemikiran Imam As Sya’rowi dalam tafsirnya bahwa selawat yang kita hadiahkan untuk rosulullah hakikatnya adalah bukan selawat kita pada rosulullah, melainkan pengharapan do’a yang kita panjat untuk Allah. Kita meminta agar Allah berselawat kepada rosulullah. “bukankah kita mengucapkan “Allahumma sholli ala Muhammad” (Ya Allah, limpahkanlah selawat atas nabi Muhammad), dan bukan “usholli ala Muhammad (aku berselawat kepada nabi Muhammad)”, kata imam As Sya’rowi.
Jika demikian, maka hakikatnya selawat yang kita lafadzkan adalah panjatan do’a agar Allah melimpahkan rahmat ta’dzim atas rosulullah. Dan di antara wujud rahmat ta’dzim Allah kepada rosulullah, seperti dijelaskan dalam hadits di atas, adalah menjadikan setiap bacaan selawat ummatnya sebagai pembuka pintu rejeki, selain rahmat ta’dzim dalam bentuk lain, di antaranya memulyakan sebutan asma rosulullah (As Insyiroh: 4) dengan  “menyandingkan” asma (nama) rosulullah dengan asma Allah dalam kalimat syahadat, menjadikannya rosul akhir zaman, menjadikannya satu-satunya rosul yang memiliki keistimewaan dapat memberi syafaat, dan masih banyak lagi.
Redaksi hadits; “barang siapa yang mengalami kesulitan hidup, maka berselawatlah atas aku”, hakikatnya adalah ajakan rosulullah untuk menyiarkan kemahamuliaan Allah yang telah menganugerah rahmat ta’dzim kepada rosulullah dan ummatnya. Demikian halnya dengan ungkapan Syaikh Ahmad Basyir: “Sopo wonge duwe hajat, diwirid Dala’ile, qabul hajate” adalah motivasi cerdas untuk memaknai hakikat hadits ini sebagai sebuah syiar rahmat ta’dzim Allah dengan segala kemahamuliaanNya.
Bukan Selawat Matre
Pada akhirnya makna selawat menjadi terlalu remeh ketika seseorang memahaminya sebagai jalan pemikat rejeki. Selawat memang bertuah berkah bagi setiap mukmin yang melafalnya, dan salah satu berkahnya adalah rejeki. Namun, bukan berarti karena kita berselawat, baru kemudian kita dibukakan pintu rejeki. Pun, rejeki yang kita peroleh belum tentu karena selawat yang kita wirid. Rejeki, besar dan kecilnya, cepat dan lambatnya, adalah murni karena fadhal dari Allah.
Untuk menjelaskan ini, mari kita membandingkan rejeki dengan hal yang lebih agung: surga. Orang yang masuk surga, sesungguhnya ia masuk bukan karena amal perbuatannya, melainkan murni karena fadhal dari Allah. Rosulullah mewanti-wanti dalam sebuah hadits:
لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا
“ Amal perbuatan seseorang tidak dapat mengantarnya masuk surga. Para sahabat bertanya: “tidak juga dengan Engkau wahai rosulullah?”. “tidak pula aku, melainkan karena Allah melimpahkannya untukku karena fadhal dan rahmatNya, maka tempuhlah jalan yang lurus dan dekatkanlah dirimu pada Allah” (HR. Bukhori).
sekarang jelas, selawat—dalam bentuk dan kalimat apapun—hakikatnya adalah sebentuk jalan putih sebagai ungkapan syukur dan usaha kita untuk taqarrub kepada Allah. Selawat bukan sekadar senandung lagu pengundang hujan rejeki. Kita pinta atau tak kita pinta, rejeki akan mendatangi kita. Allah telah berikrar mencukupi kebutuhan semua makhlukNya, dan Allah tidak pernah ingkar janji.
Baiknya selawat kita maknai dan amalkan sebagai bentuk rasa patuh kita pada Allah sebagaimana Allah memerintahkanya; “Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kepadanya (rosulullah)” (QS. Al Ahzab: 56). Ayat ini menganjur agar selawat kita seharusnya berangkat dari niatan tulus untuk patuh pada Allah.
Mari kita tilik halaman 40 kitab Dalail Khairat tashih Syaikh Ahmad Basyir, di sana tertulis do’a niat membaca selawat Dalail:
اَللَّهُمَّ اِنِّيْ نَوَيْتُ بِالصَّلَوةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِمْتِثَالًا لِأَمْرِكَ وَتَصْدِيْقًا لِنَبِيِّكَ سَيِّدِنَا مُحَمّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَحَبَّةً فِيْهِ وَشَوْقًا اِلَيْهِ وَتَعْظِيْمًا لِقَدْرِهِ وَلِكَوْنِهِ اَهْلًا لِذَلِكَ فَتَقَبَّلْهَا مِنِّيْ بِفَضْلِكَ وَاِحْسَانِكَ
Do’a ini adalah titik awal penting untuk memaknai selawat kita. Secara harfiah, do’a sekaligus niat ini memberi ruh, untuk memahami selawat sebagaimana mestinya. Menurut redaksi ini, niat selawat pada urutan pertama adalah “اِمْتِثَالًا لِأَمْرِكَ(patuh pada perintah Allah). Imtitsalan li amrillah adalah derajat tertinggi ketulusan niat. Melakukan suatu perintah yang bukan karena takut dosa jika meninggalkannya, bukan mengharap pahala, apalagi mengharap hal yang berupa kemerlip duniawi.
Imtitsalan li amrillah berarti seutuh ketulusan yang di atas ketulusan. Hanya satu tujuannya, ridhallah. Ia juga merupakan sebentuk syukur atas nikmat dan fadhal yang telah teranugerah. Seperti semua ibadah yang hakikatnya adalah bentuk syukur atas tak terhitungnya nikmat; mulai dari nikmat iman, kehidupan hingga nikmat seremeh tidur, maka cara bersyukur yang Allah tunjukkan adalah dengan beribadah. Demikian halnya selawat, ketika Allah telah menghadirkan rosul akhir zaman sebagai rahmat sekaligus pembawa rahmat, maka sepatutnya kita bersyukur, dan salah satu petunjuk Allah bagaimana kita bersyukur adalah dengan berselawat atas rosulullah.


التسهيل لعلوم التنزيل لابن جزي - (ج 1 / ص 2403)
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (3)

قال بعض العلماء : الرزق على نوعين؛ رزق مضمون لكل حي طول عمره ، وهو الغذاء الذي تقوم به الحياة وإليه الإشارة بقوله : وما من دابة في الأرض إلا على الله رزقها ، ورزق موعود للمتقين خاصة ، وهو المذكور في هذه الآية : { وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى الله فَهُوَ حَسْبُهُ } أي كافية بحيث لا يحتاج معه إلى غيره ، وقد تكلمنا على التوكل في آل عمران .
 { إِنَّ الله بَالِغُ أَمْرِهِ } أين يبلغ ما يريد ولا يعجزه شيء ، هذا حض على التوكل وتأكيد له ، لأن العبد إذا تحقق أن الأمور كلها بيد الله توكل عليه وحده ولم يعوّل على سواه { قَدْ جَعَلَ الله لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً } أي مقداراً معلوماً ووقتاً محدوداً .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar